20080925

Duet - Merayakan Keberagaman

Selasa, 19 Agustus 2008. Pukul 20.00 WIB.

Jikustik, sebuah band beraliran pop asal Yogya, mengawali penampilannya dengan sebuah intro berirama cepat. Alunan musik disko yang riang memenuhi ruangan studio. Kata demi kata lirik “Nurani” milik band Netral mengalir lancar dari Pongky sang vokalis. Lagu dari sebuah band alternatif dibawakan secara sempurna dengan warna yang samasekali beda dengan warna lagu aslinya. Bagus sang vokalis Netral pun bergoyang dibuatnya. Sambil menonton dari tepi panggung, Bagus, Eno dan Coki tampak sumringah memerhatikan lagunya berganti warna.

Selesai Jikustik, kini giliran Netral membawakan lagu “Setia” milik Jikustik. Lagu sendu yang aslinya bertempo lambat itu pun dibawakan dengan cara Netral. Cepat dan berdistorsi kasar. Bagus melantunkan lagu melankolis itu dengan gayanya. Siapa yang belum mengenal Netral, akan menilai Bagus menyanyikannya secara asal-asalan. Tapi itulah Bagus dan Netralnya. Bukan mereka bermaksud asal-asalan atau menghilangkan jiwa lagunya. Pongky dan kawan-kawannya pun berjingkrak dari barisan penonton di tepi panggung. Pembawaan lagu itu oleh Netral pun bisa memberi makna berbeda dengan pembawaan lagu aslinya oleh Jikustik.

Penampilan kedua band tersebut adalah salah satu episode dari acara “Duet” yang ditayangkan oleh stasiun “Global TV”. Di eposode lainnya, ada band /RIF bersanding dengan Audy Item, atau band Drive duet bersama Maia Estianti. Tampaknya, si pencetus ide acara ini memang ingin mengadu dua musisi yang berbeda warna musik. Adu musik ini bukan untuk membuktikan siapa yang paling jago bermusik karena memang tidak perlu ada pembuktian itu. Toh kedua kubu yang tampil berlatar belakang jenis musik berbeda.

Mereka di sini tampaknya ingin bersenang-senang saja. Membawakan lagu lawannya dengan ciri khas sendiri tampaknya menjadi mainan baru bagi mereka. Mereka pun sumringah, mulai dari sekadar mengentak kaki mengikuti irama, sampai berjingkrak girang saat lagunya dibawakan dengan cara berbeda dari aslinya. Tidak ada ekspresi tidak terima bila lagunya dibawakan dengan gaya samasekali berbeda. Saling melontarkan pujian dan tepuk tangan antar kedua kubu musisi menjadi pemandangan mengasyikan di setiap akhir lagu.

Di akhir acara, kedua kubu berduet menyanyikan lagu dari masing-masing mereka. Perbedaan aliran dan warna vokal tidak mengurangi keindahan lagu yang dibawakan. Seperti saat Andi /RIF dan Audy Item berduet dalam harmoni. Warna vokal keduanya tentu berbeda jauh. Namun saat melihat mereka bernyanyi bersama di akhir acara seperti menguatkan pakem acara bahwa berbeda itu indah. Mereka seperti berpesta, merayakan keberagaman.

Di acara Duet tersebut, frase “berbeda itu indah” bukan slogan tanpa jiwa yang ditempel dengan spanduk. Perbedaan yang indah dinyatakan dalam aksi nyata. Ketika Jikustik memutuskan membawa lagu “Nurani” dengan irama disko bukan berarti mereka tidak menghormati Netral karena tidak membawa lagu itu dengan irama aslinya. Justru itu adalah cara mereka menghargai karya cipta Netral karena Jikustik terbukti mampu mengerahkan segala kemampuannya mengeksplorasi lagu tersebut lalu membawakannya dengan indah. Demikian juga dengan Netral saat membawa lagu-lagu milik Pongky dkk.

Ah, seandainya kemesraan para musisi berbeda aliran itu bisa dicontoh kita semua. Betapa indahnya masyarakat yang berbeda latar belakang bisa bekerja sama. Tidak ada yang merasa paling benar sehingga sipil menghancurkan sipil. Tidak ada yang merasa mayoritas sehingga bisa mendesak minoritas. Tidak ada yang merasa paling suci sehingga mencaci-maki si murtad atas nama tuhannya. Tidak ada…

Ah, mungkin saya terlalu banyak bermimpi. Mengharapkan kedamaian di tengah perbedaan multi-dimensi di negara yang beberapa kali mengalami kerusuhan berbau SARA ini mungkin memang mimpi berlebihan. Garuda Pancasila hanya sebatas lambang tanpa makna yang tergantung di ruang kelas anak sekolah hingga ruang kerja pejabat negara. Kasihan. Sedangkan, di luar sana, kebebasan beragama dan beribadah dipersoalkan, rumah ibadah ditutup dan dihancurkan, mata sipit menjadi hambatan pembuatan Akta Kelahiran, kewajiban pemakaian atribut salah satu agama di sekolah negeri kepada seluruh siswanya.

Lenyap sudah mimpi Bung Karno tentang harmoni dalam perbedaan. Mimpi yang pernah direnungkannya di bawah pohon sukun di Ende dalam pengasingannya oleh Pemerintah Belanda. Mimpi yang juga menjadi pergulatan para pendiri bangsa. Mereka berjuang menyatukan langkah tanpa mempersoalkan perbedaan suku, agama, pendidikan atau apa pun. Visi mereka jelas, Indonesia harus merdeka dan kemerdekaan itu untuk semua masyarakatnya. Dengan kemerdekaan, Indonesia bisa menentukan arah geraknya sendiri. Mereka mendambakan kemerdekaan atas wilayah, politik, pendidikan, pertanian dan setiap hal yang menjadi hak dasar manusia. Keputusan mereka untuk mendirikan sebuah negara berasaskan Pancasila yang menghargai perbedaan pun bukan sekadar keputusan sembarangan. Mereka sadar bahwa kemerdekaan hanya bisa dicapai dengan persatuan setiap insan dari berbagai latar belakang suku dan agama. Sehingga bangsa ini dan kemerdekaannya adalah milik seluruh bangsa. Tidak ada kelompok yang menonjol sendiri dalam peran memerdekakan bangsa ini. Apakah mereka menutup mata terhadap perbedaan itu? Tentunya tidak. Perbedaan tetap ada, namun bukan untuk dibeda-bedakan lalu menjadi penghalang kebersamaan. Justru perbedaan itu bisa menjadi keindahan tersendiri.

Barangkali memang inilah Indonesia sekarang, seperti lirik salah satu lagu Slank berikut:
INdah sekali
DOngeng tidurku
NEnek yang bercerita
SIApapun percaya
INDONESIA… INDONESIA…

20080923

SANGAT PENTING!

SANGAT PENTING! Dikabarkan bagi seluruh warga Indonesia yang mengetahui keberadaan Bang Toyib mohon untuk mengingatkan atau menasehatkannya untuk segera pulang ke anak dan istrinya. Kirim sebanyak-banyaknya pesan ini agar kita dapat membantu anak dan istri Bang Toyib biar mereka bisa bertemu kembali. Bayangkan sudah 3 kali lebaran dia belum pulang-pulang.... Terima kasih
Pesan di atas saya terima dari seorang teman. Pesan ini cepat menyebar di melalui fasilitas ngobrol virtual seperti Y!M dan Skype. Nggak perlu dibahas lebih dalam. Saya sungguh nggak punya ide ttg sesuatu yang brilian untuk dibahas dari pesan di atas. Tapi setidaknya ada beberapa catatan saya dari pesan di atas.
Lagu dangdut yang kemungkinan berjudul "Bang Toyib" sangat terkenal dan bahkan melekat di hati masyarakat Indonesia.
Hari raya adalah saatnya untuk berkumpul dengan keluarga. Itulah yang juga dirindukan oleh istri dan anak Bang Toyib.
Pencetus pesan ini sangat iseng. Sekaligus berjasa membuat banyak orang tersenyum di tengah himpitan masalah dateline pekerjaan menjelang libur lebaran dan THR yang belum atau nggak akan turun.

20080918

bapak-anak


Ini Closet Duduk, Bung!

Hati saya tergelitik saat membaca dua lembar peringatan di sebuah kamar kecil di salah satu rumah sakit di Yogyakarta. Peringatan ini berisi dua hal, yaitu bahwa closet alias jamban yang ada di ruangan itu adalah jamban duduk dan peringatan kepada pegguna untuk menyiram jamban setelah buang air besar dan kecil.
Sebetulnya peringatan ini agak berlebihan. Betapa tidak, manusia masih harus diingatkan bahwa jamban itu adalah jamban duduk, bukan jamban jongkok. Pengelola gedung berharap siapa pun yang akan menggunakan jamban ini melakukan dengan cara yang benar yaitu dengan posisi duduk saat buang air di atas jamban duduk. Banyak masyarakat Indonesia yang belum terbiasa dengan jamban duduk dan berposisi duduk saat buang air. Sehingga mereka memilih tetap jongkok di atas jamban duduk. Padahal hal ini berbahaya karena jamban duduk dirancang untuk digunakan sambil duduk. Beban tubuh si pengguna tidak akan sepenuhnya ditanggung si jamban bila pengguna duduk. Sebaliknya, bila pengguna jongkok, maka beban tubuhnya sepenuhnya ditanggung oleh si jamban. Itulah sebabnya jamban duduk beresiko pecah bila digunakan sambil duduk. Inilah informasi yang pernah saya terima tentang bahaya jongkok di jamban duduk. Jamban duduk itu pecah dan melukai si pengguna yang sedang termenung saat buang air.
Tentang peringatan supaya menyiram jamban setelah buang air tentunya lebih berlebihan lagi. Peringatan ini mungkin disebabkan kekesalan pengelola gedung karena kamar kecil itu sering berbau sebab tidak disiram setelah digunakan oleh pengunjung. Masalah ini bukan lagi masalah biasa-tidak biasa menggunakan jamban duduk. Tetapi merupakan cermin tingkat kepedulian masyarakat kita terhadap kebersihan. Siapa pun tahu bahwa setiap kotoran yang keluar dari tubuh kita itu sifatnya kotor. Namanya juga kotoran. Upil, keringat, pipis dan feses itu kotor. Jadi harus dibuang pada tempatnya. Maka menyiram jamban sesaat setelah buang air besar dan kecil adalah mutlak supaya tempat buang air itu tetap bersih. Hal ini menjadi lebih dari sekadar masalah estetika, bau-harumnya kamar kecil itu misalnya. Barangkali mereka yang tidak biasa menyiram sesaat setelah buang air itu terbiasa buang air di sungai atau comberan. Buang air di saluran air itu memang tidak perlu disiram. Toh feses atau pipis akan langsung hanyut. Tapi ini bukan sungai atau comberan. Ini kamar kecil yang kotorannya harus disiram supaya masuk ke penampungan bernama tanki kuman (septic tank).
Peringatan serupa saya temui tidak hanya di Yogyakarta. Bahkan di Jakarta pun saya pernah mendapatkannya. Cermin bahwa masyarakat kita belum terbiasa menggunakan jamban sesuai kodrat si jamban dan sering lupa menyiram jamban setelah buang air besar dan kecil. Bila memang mayoritas masyarakat kita tidak terbiasa menggunakan jamban duduk, kenapa harus memaksakan memasang jamban duduk di kamar kecil umum. Pengelola gedung sebaiknya mempertimbangkan hal ini.
Sebagian besar gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan di Jakarta menyediakan jamban duduk lebih banyak daripada jamban jongkok. Seorang teman saya sempat kelimpungan saat mengetahui jamban di suatu pusat perbelanjaan di Jakarta Pusat tidak menyediakan air untuk cebok. Dia tidak terbiasa cebok menggunakan kertas tisu yang disediakan. Kebiasaan serupa pasti melekat di mayoritas masyarakat kita yang lebih terbiasa cebok menggunakan air dan sabun. Bahkan konon kabarnya, panitia Olimpiade Beijing 2008 sempat diprotes negara-negara calon peserta karena sulitnya menemukan jamban duduk di arena-arena olahraga yang akan dijadikan lokasi pertandingan. Panitia berkilah bahwa mayoritas penduduk RRC lebih terbiasa dengan jamban jongkok sehingga mereka ngotot menyediakan jamban jongkok jauh lebih banyak daripada jamban duduk.
Masalah buang air bukan masalah sepele. Ini masalah kesehatan. Nggak heran kalau penduduk barat sangat memerhatikan kebersihan kamar kecilnya. Tapi bukan berarti kita ikut-ikutan budaya barat dengan “pro” jamban duduk dan kertas tisunya. Dengan tetap memerhatikan kebersihan kamar kecil, sebaiknya pengelola gedung menyediakan sarana yang sudah biasa digunakan masyarakat kita. Jangan sampai kamar kecil menjadi masalah karena sarana di dalamnya tidak bisa dimanfaatkan secara optimal. Apalagi bila si calon pengguna sudah kebelet, pikirannya hanya satu, bagaimana dia bisa buang air dengan nyaman dan aman.Sebagai pengguna, kita pun harus melatih diri menyesuaikan diri dengan lingkungan. Termasuk saat menemui jamban duduk saat akan buang air besar. Bila tidak terbiasa, tentunya perlu perjuangan ekstra. Latihan ini membantu kita saat kita berada di lingkungan yang asing dengan budaya asing, termasuk hal budaya bentuk jamban di luar negeri misalnya. Seperti pengalaman saya beberapa tahun lalu saat harus sering berhadapan dengan jamban duduk. Ternyata menggunakan jamban duduk membuat saya tetap bisa buang air besar sambil membaca koran dengan nyaman.

20080801

Anak Negeri

Ilir-ilir*)
Ilir-ilir
Tandure wis ngalilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh penganten anyar

Cah angon
Cah angon
Penekno belimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno
Kanggo mbasuh dodot tiro

Dodot tiro
Dodot tiro
Kumitir bedah pinggire
Domano jelumantono
Kanggo sebo mengko sore

Pumpung padang rembulane
Pumpung jembar kalangane
Giyo sorak
Sorak hore

Anak-anak negeri bermain di bawah rembulan
Batu, pohon, daun dan tanah menjadi kawan
Bapak Ibu bercengkerama dengan penduduk desa
Menjelang panen raya dengan sukacita

Negeri ini katanya negeri impian
Di mana melimpah ruah susu dan madu
Air mengalir bening dari gunung ke lautan
Buah ranum, padi berbulir tepat waktu

Namun semua tinggal kenangan
Seiring embun menguap di bawah terik mentari
Seiring traktor merambah hutan
Seiring sawah menjadi bangunan tegak berdiri

Anak-anak negeri lenyap seperti debu disapu angin
Menabur benih, memetik bulir sudah tak mungkin
Sekolah pun seperti mimpi di siang hari
Anak-anak negeri mengungsi dari rumah sendiri

Alam tak ramah lagi kepada manusia
Buah dan padi harus ditebus dengan segenggam rupiah
Padahal dulu anak-anak negeri dapat memetiknya sesuka hati
Namun semua kini harus dihadapi dengan harga mati

Hukum rimba di tengah kota
Mengubah manusia menjadi serigala
Anak-anak negeri luruh tanpa daya
Hidupnya menjelang senja

PDF 27
Akhir Juli 2008

*) Ilir-ilir adalah lagu dari Jawa. Tidak diketahui siapa pengarangnya dan sejak kapan dinyanyikan. Ada dugaan bahwa lagu ini diperkenalkan oleh salah satu Wali Sembilan dalam penyebaran agama Islam. Lagu ini biasa dinyanyikan anak-anak di Jawa Tengah saat bermain di bawah sinar bulan purnama.

20080731

Loper's Day 2008

Yup... inilah salah satu perhelatan di Jakarta yang paling heboh. Limapuluhribu loper koran (begitu kata penyelenggara) berkumpul bersama penerbit suratkabar untuk sama-sama bersenang-senang (itu pun kata penyelenggara). Tahun 2008 ini, Loper's Day diadakan pada 31 Juli 2008 di Pantai Karnaval, Ancol. Di lapangan yang biasa untuk konser musik gede-gedean ini, berdiri satu panggung besar dengan banyak tenda yang diisi berbagai pihak, mulai dari PMI, berbagai media cetak sampai penyedia layanan telepon seluler yang menjadi sponsor utama.
Berhubung acara ini dihadiri Wakil Presiden RI, Pak Jusuf Kalla, beserta Wakil Gubernur DKI Jakarta, Pak Prijanto, dan bos media-media skala nasional di Indonesia, maka persiapan pun dibuat serinci mungkin. Saya yang menerima undangan untuk menjadi relawan di acara ini pun terkaget karena nggak menyangka acara akan semegah ini. Setelah pertemuan antar relawan sehari sebelumnya di bilangan Kuningan, saya beristirahat untuk menyambut acara ini (ceileee...).
31 Juli 2008, jam 3 pagi buta. Weker berbunyi, saya bangun dengan tergesa, sempoyongan menuju kamar mandi. Jam 4, saya menuju Jalan Ciputat Raya untuk ketemu teman sesama relawan yang membawa mobil ke lokasi. Nebeng is the best way to save oil in its globally crisis. Teman itu pun baru saya kenal kurang dari 12 jam sebelumnya. Asas kepercayaan dan niat tulus melayanilah yang membuat kami bisa berangkat bersama (cieeeee...).
Jam 5 pagi harus tiba di lokasi untuk persiapan bersama Paspampres. What is the meaning of Paspampres? Paspampres = Pasukan pengamanan Presiden. Begitulah kalo ada kegiatan dengan lingkar utama negara ini. Eh, nggak tahunya, saya ditaruh di kelompok relawan yang membantu menyiapkan kebutuhan artis. Ternyata hasilnya hanya membawa beberapa dus minuman kemasan ke meja artis. Setelah itu, saya ditempatkan di pintu VVIP (Very Very Important Person) yang akan dilalui Pak Wapres dkk.
Thanx, God because You put me in this point. Saya bertugas di situ bersama tiga relawan cantik dan beberapa orang Paspampres. Pelajaran pertama, Paspampres itu ternyata baik. Nggak sesangar tampangnya. Mereka mau bercanda dan mengobrol di waktu luang. Banyak hal baru saya pelajari dari mereka seperti bagaimana menggunakan pemindai logam (metal detector). Seperti mainan, lho. Boleh juga punya satu untuk mainan anak saya kelak.
Pelajaran kedua, bergaulah dengan siapa saja. Termasuk dengan perempuan-perempuan cantik. Kalo kamu perempuan, bergaulah dengan pria-pria cakep. Jangan pernah pandang bulu! Pandang saja mukanya. Hm, maksud saya, jangan memanfaatkan kesempatan untuk hal jelek. Banyak teman baru saya temui di acara ini. Mereka datang dari berbagai latar belakang pendidikan, pekerjaan, agama dll. Nyambung nggak sih, dengan tiga kalimat pertama di paragraf ini? Tapi begitulah. Saya banyak belajar dari mereka, mulai dari pekerjaan-pekerjaan yang jauuuuuuuuuuuuh banget dengan pekerjaan saya, sampai bagaimana mengelola sekumpulan rekan kerja yang baru dikenal. Persahabatan adalah bonus setelah itu. Kalo masih lajang, dapat jodoh adalah jackpot! Jackpot, dude! Seperti yang saya alami di gempa Yogya 2006 lalu.
Pelajaran ketiga, nggak semua pekerjaan diukur ganjarannya dengan uang. Banyak hal harus kita lakukan dengan rela. Bangun pagi, keluar duit untuk ongkos dan makan dan capek adalah sedikit pengorbanan. Jangan sampai tangan kirimu melihat apa yang dilakukan tangan kananmu. Itu kata teman dekatku, Ronaldo Rotua Siregar, saat kami lulus SMP. Iklas seiklas-iklasnya harus dicamkan. Rasanya senang saat melihat loper koran dan keluarganya tersenyum melihat kami saat itu. Membagi-bagikan minuman, memberi informasi yang dibutuhkan dan menenangkan mereka yang mulai rusuh adalah bayaran yang jauh lebih berharga.
Pelajaran keempat, jangan terlalu banyak memberi pelajaran. Makanya pelajaran ini saya batasi sampai di sini. Terima kasih.
Betewe, kaos relawan gw yang dipinjem bos Suara Pembaruan kok nggak balik, ya? Pak, mana janjimuuuuuu....? :D

Bersama beberapa relawan cantik bin manis. Ini bonus, Kawan, karena niat tulusku menjadi relawan. Kapan lageee? Wakakakaka.... Horeeeee....

20080728

Krisis Listrik dan Es Dawet


Alamak... betul2 pemanasan global, neh. Kantor saya juga mengalami pemanasan. Tapi ini pemanasan lokal. Krisis listrik ibukota membuar semua penghuninya harus berhemat. Berhubung pemerintah yang menyampaikan himbauan penghematan, maka kantor saya pun berhemat. Karena saya bekerja di kantor pemerintah juga. Harus memberi contoh yang baik, dong...

Dan inilah contohnya. Mematikan sebagian lampu, menghentikan operasi sebagian lift dan menurunkan daya pendingin udara alias AC. Akibatnya, sebagian kantor saya gelap dan gerah. Rasa gerah makin menjadi tatkala harus mengenakan baju seragam. Untungnya, ruang kerja saya dilengkapi jendela yang bisa dibuka dengan ukuran super besar. Meja saya pun berada tepat di bawah lampu yang beruntung bisa menyala hari ini.

Maka pekerjaan saya pun nggak terlalu terganggu. Hanya sedikit merasa panas karena mengandalkan angin sepoi-sepoi yang enggan bertiup. Kancing baju pun saya lepas sebagian. Tapi itu hanya saya lakukan di meja saya. Lumayan daripada harus bermandi keringat seharian.

Saya sepertinya butuh segelas es dawet. Lengkap dengan saus gula merah yang meleleh di sela-sela potongan cincau. Dengan sedikit es yang mengembun di balik dinding kaca bening gelasnya. Slurrp... Nikmat...

Semoga krisis listrik yang membuat gerah ini membawa berkah bagi mereka yang menawarkan kesejukan, baik lahir maupun batin. Amiiiiin....

20080627

Tompi Bernyanyi untuk Saya! Hanya untuk Saya!

Sungguh, Tompi bernyanyi untuk saya! Hanya untuk saya!

Kalimat demi kalimat terucap melalui suaranya yang merdu. Lagu-lagunya tentang cinta, wanita dan kecintaannya pada musik. Diiringi petikan gitar yang padu dengan drum, bas, piano dan berbagai alat musik lainnya.
Sudah beberapa lagu dinyanyikannya. Walau saya tidak memberinya pujian, bahkan saya kerap bersikap mengacuhkannya, tapi Tompi terus bernyanyi. Lagu-lagunya membuat pagi saya di hari ini semakin cerah. Saya pun bisa konsentrasi berkutat pada pekerjaan saya. Memandangi baris demi baris tugas yang sedang saya ketik dengan tenang. Itu semua berkat Tompi yang terus bernyanyi tanpa henti, tanpa mengeluh. Bila suaranya kurang keras, saya bisa menambah volume suaranya. Bila terlalu keras, saya tinggal mengurangi volumenya. Mudah sekali. Dan tanpa keluhan dari Tompi sama sekali.

Tompi terus bernyanyi hingga tak terasa sudah satu album selesai dinyanyikannya. Kini giliran Melly Goeslaw bernyanyi untuk saya. Album solonya yang berjudul "Sendiri Dulu" menjadi pilihan. Si pencipta lagi paling produktif dan populer di Indonesia itu pun mulai bernyanyi. Sama seperti Tompi, teh Melly, demikian teman-teman dekatnya memanggilnya demikian, tidak mengeluh bernyanyi untuk saya. Satu per satu liriknya yang berkarakter kuat mengalir dari mulutnya.

Hm... indahnya hidup ini. Penyanyi besar Indonesia tidak segan-segan bernyanyi untuk saya. Hanya untuk saya. Tompi dan Melly, hingga Slank dan God Bless siap sedia bernyanyi untuk saya. Kapan pun saya mau mendengarkan mereka. Tanpa bersungut-sungut, mereka bernyanyi. Tanpa tersinggung, mereka pun bisa diganti dengan penyanyi lain oleh saya.

Oh... indahnya MP3 bajakan! Ruang kerja di kantor, kamar di rumah dan di mana pun saya bekerja, semua menjadi lebih terasa nyaman dengan lagu-lagu mereka. Koleksi saya sebetulnya tidak selengkap teman-teman saya karena selera musik saya terbatas. Walau tidak pandai bermusik, saya termasuk selektif untuk menyatakan seorang penyanyi atau sebuah kelompok musik itu bagus atau pas-pasan. Sombongnya saya dalam berselera musik membuat saya hanya menyukai beberapa penyanyi.

Tapi ruang kerja saya termasuk paling sering diwarnai musik. Sejak tiba di kantor hingga akan pulang kerja, ruang kerja saya jarang sekali senyap tanpa musik. Walau kebanyakan musik yang saya putar saya dapatkan dengan cara ilegal, yaitu menyalinnya dari teman. Tindakan ini dimasukkan ke dalam kategori pembajakan. Ya, saya pembajak lagu orang. Hanya beberapa yang saya beli legal berupa album resmi dalam bentuk cakram kompak lalu saya ubah formatnya agar lebih mudah diputar di komputer.

Sungguh saya mohon maaf kepada Tompi, Melly dan semua artis Indonesia yang telah saya putar lagunya tanpa saya bayar royalti kepada mereka. Sungguh saya masih merasakan mahalnya harga album mereka. Walau pun karya mereka sebetulnya jauh lebih mahal dari sekadar sekeping cakram kompak berisi lagu yang dibalut kertas sebagai sampulnya. Saya memang egois. Mau menikmati karya orang lain tanpa menghargainya secara material. Saya berjanji, saya tidak akan marah bila karya saya dibajak orang bila saya menjadi penyanyi atau pemusik terkenal seperti kalian. Tapi kapan ya, saya bisa seperti kalian?

20080626

kacamata - mata berkaca - mata berkaca-kaca

Huh...
Sungguh aku bosan berkacamata. Seuntai logam yang membingkai sepasang lensa ini semakin terasa sebagai beban dan menyulitkan. Merepotkan karena harus sering dilap. Menyulitkan saat memakai helm. Menyulitkan saat mengintip dari jendela rana kamera dan mikroskop. Mata minus ini betul-betul menyulitkan. Juga membuat saya tidak leluasa memakai kacamata penangkal sinar matahari yang saya beli dengan harga murah di Blok M.
Dulu, saat masih di bangku sekolah, saya ingin sekali pakai kacamata. Supaya terlihat agak ganteng. Maklum, muka saya pas-pasan. Tapi, saat itu, saya nggak punya alasan untuk memakainya karena mata saya sehat sentosa. Saat itu, saya kadang berharap mata saya menjadi minus agar saya punya alasan berkacamata. Pikiran yang saya anggap bodoh sekarang. Saatnya memang tiba. Saat duduk di kelas 3 SMU, mata saya minus. Lihat obyek yang jauh tampak buram. Kesulitan menyimak penjelasan guru sekolah, saya pun memakai kacamata. Tampak ganteng? Hm... Mungkin. Yang jelas, saya bisa membaca tulisan di papan tulis dari barisan belakang kelas.
Waktu pun berlalu hingga saya kuliah. Kuliah di bidang pemanfaatan sumberdaya perikanan yang banyak praktek lapang, termasuk berlayar. Kesulitan mulai terasa karena kacamata menghambat kegiatan luar ruang. Berlayar diterjang ombak dan hujan membuat kacamata saya basah kuyup. Melepasnya saat kondisi seperti itu juga tidak baik. Berada di sebuah kapal kecil di tengah laut gelap gulita yang sedang bergelombang bisa jadi sama dengan bunuh diri.
Bahkan kesulitan itu terasa di kegiatan dalam ruang. Seperti saat harus menggunakan mikroskop saat praktikum. Apa daya, semua harus dijalani.
Saya hanya ingin mata kembali sehat. Sehingga tidak ada lagi beban dan hambatan untuk beraktivitas. Lagipula kacamata terbukti tidak signifikan mengatrol nilai wajah saya. Saya ingin sembuh. Tapi saya nggak mau operasi. Selain karena nggak punya cukup uang untuk itu, minus mata saya tergolong kecil untuk dioperasi. Saya mencari obat tradisional yang bisa mengobati mata minus. Istri saya pernah pulih mata minusnya karena obat tradisional yang diberikan tetangganya saat tinggal di Samarinda. Sayangnya, istri saya nggak tahu resepnya.
Berat betul hidup berkacamata. Saran saya, jangan pernah bermimpi untuk berkacamata. Apalagi hanya sekadar untuk terlihat ganteng. Nggak penting! Satu yang paling penting adalah mata sehat waalfiat. Bisa menikmati alam ciptaanNya tanpa tergantung seuntai logam yang membingkai sepasang lensa. Satu-satunya lensa yang membuat saya bersyukur bahwa dia ada adalah lensa kamera.

20080617

Anakku...

Puji Tuhan! Setelah menunggu sekian lama, anak kami lahir pada 28 Mei 2008 di Yogya. Darrell Nathan Raditama. Darrell berarti berkat dari Sorga. Nathan berarti hikmat dari Tuhan. Raditama berarti anak pertama. Setidaknya itulah makna sepengetahuan kami.


Prosesnya cukup panjang. Sejak 27 Mei 2008, istri saya sudah mengalami pecah ketuban. Malamnya, dia merasakan sakit yang timbul tenggelam. Makin lama, rasa sakit itu semakin sering. 28 Mei 2008 pukul 1 dini hari, istri saya ke rumah sakit. Hari rabu itu kami lalui dengan sangat lama. Rasa sakit mendera berkali-kali. Kasihan bila melihatnya berjuang.

Subuh berangsur pagi, pagi berangsur siang, siang berangsur petang. Namun tanda-tanda kelahiran belum juga mengalami kemajuan. Akhirnya, pada pukul 16.50, istri saya sudah mencapai bukaan akhir dan dibawa ke ruang bersalin. Dengan persiapan sebentar bersama dokter, bidan dan suster, istri saya mulai berjuang mengeluarkan sang bayi.

Detik demi detik. Menit demi menit. Istri saya mengejan dan mengejan. Sebagian kepala bayi sudah sempat keluar. Namun masuk lagi karena dorongan yang kurang kuat. Hal ini terjadi hingga empat atau lima kali. Setelah usaha berkali-kali tidak berhasil, dokter menyarankan agar bayi kami dibantu dengan alat vakum. Namun istri dan saya tidak setuju.

Akhirnya, demi melahirkan secara normal, istri saya sebentar beristirahat. Saya pun mendukungnya agar sebentar bernafas. Demi anak, saya minta istri saya mengerahkan segenap tenaganya. Setelah dirasa cukup, istri saya mengejan. Dokter, bidan dan suster turut memberi semangat. Kepala bayi kami keluar sedikit demi sedikit. Diikuti tubuh lalu kakinya. Seorang bayi laki-laki telah lahir.

Pecahlah tangis bayi di ruang bersalin ini. Kulihat dengan seksama bayi itu ketika digendong suster. Puji Tuhan dalam hati karena organ tubuhnya lengkap. Bayi itu dibersihkan dan dibungkus dengan selimut. Karena tangisannya kurang kuat, bayi kami dibantu alat untuk mengeluarkan cairan yang mungkin masuk ke dalam tubuhnya.


Segalanya terasa berbeda sejak itu. Kami memiliki seorang anak. Anak yang Tuhan titipkan kepada kami. Saya masih sering merasa takjub, sedikit tidak percaya atas apa yang telah terjadi. Tuhan menitipkan seorang anakNya kepada kami.

Terima kasih kepada semua teman yang banyak menolong kami. Depa, Noula, Kak Susi, Mike, Nukie, Pece, Shinta, Seoul dan semua yang nggak sempat saya sebut namanya. Tuhan memberkati...

20080519

dag.. dig... dug...

Ini bukan kutipan atau penjelasan tentang karya Putu Wijaya yang berjudul sama. Saya memang sedang was-was menunggu kelahiran anak. Maklum, ini anak pertama. Di awal kehamilan, istri saya mabok berat. Saking beratnya, sempat diopname di RS Bethesda, Yogya. Saat itu, dia muntah terus, sulit makan sampai akhirnya sempat muntah darah. Sempat pula saya tinggalkan karena saya ada tugas berlayar selama sebulan. Dia sempat panik setelah melihat berita cuaca buruk di pesisir utara dan selatan Jawa saat itu.
Saat ini, kami sedang menunggu kelahiran calon bayi yang rajin berpencak-silat di rahim ibunya itu. Dasar, bahkan kepala saya pun pernah ditendangnya saat kepala saya bersandar di perut istri. Kayaknya nggak terlalu sulit mengajarkannya bertahan hidup di alam.
Tuhan sungguh baik, Teman... Dia memberi saya seorang istri yang cukup pengertian kepada saya. Kekurangan dan kelebihannya membuat kami saling mengisi. Dan, saat ini, Tuhan sedang menyiapkan rencanaNya yang indah untuk kami berdua. Anak yang sedang dikandung istri adalah anak berkat yang akan menjadi berkat bagi sesamanya. Nggak peduli betapa dia harus hancur luluh untuk hancur untuk mewujudkannya.
Halah... makin ngelantur, nih. Nggak terarah. Sori. Semoga anak gw kelak bisa jauuuuh lebih baik dari gw.

20080429

Mas Tenta

Semalam saya menyetel lagu "Just the Two of Us." Sebuah lagu lama yang akrab di telinga saya sejak tinggal bersama teman-teman kuliah di sebuah perumahan di Kota Malang, Jawa Timur. Seorang teman, Mas Tenta, sering melantunkan lagu itu, terutama saat dia mandi. Saya akan mengecilkan suara lagu yang sedang saya putar di komputer bila Mas Tenta bernyanyi. Rumah tempat tinggal kami pun lebih cerah dengan nyanyiannya.

Ya, Mas Tenta memiliki suara yang sangat merdu. Mahasiswa Fakultas Pertanian - Universitas Brawijaya itu juga memiliki kemampuan komputer yang cukup hebat. Di waktu senggang, dia berkreasi merancang halaman situs jaringan pribadinya. Semua tertuang di situs pribadinya, mulai dari pemikirannya hingga tentang durian, obyek penelitiannya. Bahkan dia sempat mendapat proyek membangun sebuah situs jaringan sebuah perusahaan swasta di Kota Malang. Tidak sampai di situ, ilmunya tentu ditularkannya juga kepada saya dan teman serumah lainnya.

Senin (28/4) lalu, saya menerima berita mengejutkan tentang kepergian Mas Tenta untuk selamanya. Dia menderita suatu penyakit dan begitu cepat berlalu. Upaya dokter selama seminggu Mas Tenta dirawat di rumah sakit pun tidak sesuai harapan. Tuhan memutuskan memanggilnya pulang segera. Mas Tenta pun pergi pada 26 April 2008 setelah dirawat sejak 19 April 2008.

Kepergiannya begitu mendadak. Banyak sekali orang yang kehilangan Mas Tenta karena dia begitu baik dan sederhana. Hidupnya seperti lilin yang harus luluh karena menyinari lingkungan di sekitarnya. Begitu banyak hal saya pelajari darinya. Begitu besar kasihnya terhadap sesama. Saya kehilangan seorang teman yang mau menjadi sahabat, seorang guru sekaligus kakak.

Mas Tenta.

Selamat jalan, Mas Tenta. Jejak karyamu nggak mungkin terhapus dari benak saya. Trims untuk teladanmu.

20080417

Saya saat ultah pertama. Betapa beruntungnya saya.

20080416

Hartop...


Semalam gw lembur di rumah. Sambil kerja, gw pilih2 lagu untuk nemenin gw kerja semalemsuntuk. Gw nggak terlalu merhatiin lagu2nya. Tiba2 lagu band Caffeine yang berjudul "Kau T'lah Pergi" diputar. Gw langsung inget seorang teman. Hartop panggilannya. Maaf, namanya memang gagah seperti mobil "hard top" yang legendaris itu. Tapi Hartop tidak punya kaitan samasekali dengan Hard Top.

Hartop adalah Hari Murtopo, seorang teman semasa kuliah di Malang. Dua tahun terakhir gw di sana nyaris selalu berhubungan dengan beliau karena satu kos dan lalu sama-sama pindah ke rumah pembinasaan yang sama di Griya Shanta. Sudah menjadi kebiasaan kami untuk main gitar untuk menghabiskan malam tanpa makna. Salah satu lagu favoritnya ya lagunya Caffeine itu. Gw sendiri heran betapa senangnya dia menyanyikan lagu itu, terutama di malam hari sambil menatap rasi bintang nggak jelas.

Rumah pembinasaan yang legendaris itu. Sinar terang di dalamnya adalah tanda pencerahan kepada penghuninya sedang berlangsung. Dasyaaat...


Semalam, saat lagu itu dilantunkan di pengeras suara komputer, pikiran saya seperti melayang mundur jauh ke belakang. Terbesit semua ingatan tentang apa yang saya lalui bersama teman-teman di Malang. Memanen pisang dan terung di sebelah rumah, memasak mi instan plus daun ginseng yang dicabut dari depan rumah, bekerja bakti membersihkan rumah dan main basket di sore hari adalah kegiatan yang sering kami lakukan. Suka-duka kami alami bersama. Gembira saat salah satu teman lulus, tapi juga sedih karena harus berpisah.

Ah, sudahlah. Pengalaman itu salah satu yang menempa saya. Terima kasih kepada Tuhan untuk teman-teman yang boleh menjadi bagian hidup saya. Saya kangen Hartop, Rere, Rino, Tenta dll. Kemana saja kalian?

Lha, ini si Hartop bersama saya di salah satu acara kampus. Semoga pencantuman fotonya ini nggak menjatuhkan popularitas blog saya yang sepi pengunjung ini.


20080325

Secara gw orang Indonesia, gitu lhooo...

Buset... satu lagi contoh pergeseran makna kosakata bahasa Indonesia. Beberapa minggu lalu, saya berkomunikasi dengan seorang teman dari Indonesia yang sedang kuliah di Belanda. Dia sedikit bercerita tentang pengalamannya bersepeda di sana. Beginilah kira-kira kutipannya.

"Gw kuliah naik sepeda ke kampus. Secara orang-orang di sini mayoritas kemana-mana pake sepeda."

Hah! Gw setengah kaget seorang teman nun jauh di sana pun ikut2an memakai kata "secara" yang menurut saya bukan pada tempatnya. Sampai detik ini pun saya belum paham makna kata "secara" dalam kalimat itu. Pun pada kalimat-kalimat sejenis yang diucapkan teman-teman saya di Jakarta. Hanya saja saya heran begitu cepat "virus" ini menyebar. Mereka yang mengucapkannya seperti merasa gaul bila menebar kata-kata asing ini di kalimatnya.

Huh!

20080310

Jalan Kaki

Kemarin, setelah ibadah, saya pulang berjalan kaki dari gereja di Blok M ke rumah saya di daerah Kampung Duku, Kebayoran Lama. Saya butuh 30 menit untuk menempuh jarak sekitar 3 kilometer itu.
Rasanya menyenangkan bisa berjalan kaki setelah sekian lama tidak berolah raga. Keringat membasahi baju, degup jantung lebih cepat dan badan terasa lebih sehat.
Lebih dari sekadar berolah raga, saya pun bernostalgia. Jalur yang saya tempuh adalah jalur yang pernah saya tempuh saat Sekolah Dasar, dua puluh tahun yang lalu. Jalan Panglima Polim, Jalan Petogogan, Komplek Angkatan Laut di Radio Dalam dan Komplek Kostrad. Hampir semua bentuk rumah dalam gang-gang kecil itu tidak banyak berubah.
Kilas balik dalam pikiran saya tentang masa kecil, tentang pergi dan pulang sekolah berjalan kaki lalu mampir di penjaja es saat haus di jalan pulang.
Tuhan sungguh baik, teman. Dua puluh tahun lalu saya nggak pernah membayangkan bahwa saya bisa bekerja seperti sekarang. Walau bila diukur dengan ukuran manusia, saya bukanlah orang sukses, saya tetap bersyukur. Masa kecil saya lalui dengan bahagia.

20080306

pengen libuuuuuuuuuur

Saya sangat lelah. Libur satu hari esok, ditambah libur akhir pekan kayaknya akan diisi lembur di rumah.
Sebelumnya, saya hanya ingin menikmati segelas es krim strawberry campur panili. Mungkin satu judul film cukup menghibur. Saya betul-betul butuh istirahat walau sejenak.
Fiuh...

20080303

nirkabel

Ini adalah hari pertama saya berinternet menggunakan jaringan nirkabel. Saya harus menyetel jejaringnya terlebih dulu, barulah setelah itu saya terhubung dengan dunia maya. He...he... Dasar pemalas, saya sebetulnya bisa melakukannya sejak lama. Hanya saja saya ragu apakah saya bisa menyetel jejaring nirkabelnya. Kalo saya nggak mencoba, saya nggak akan bisa. Satu lagi pengalaman kecil hari ini. Horeeeeeeeeee...

20080229

Berbahasa Indonesia supaya Merasa at Home


Berbahasa Indonesia yang baik dan benar di Negara Kesatuan Republik Indonesia rupanya tidak mudah. Termasuk di Ibukota Jakarta yang menggunakannya sebagai bahasa sehari-hari. Beberapa kali bentrok dengan rekan tentang redaksional naskah pun saya alami. Mulai dari pengejaan kata hingga penggunaan kata serapan yang masih rancu. Sepele? Bagi saya, bahasa dan berbahasa adalah masalah serius karena menyangkut jatidiri sebagai pribadi dan bangsa.
Saya kerap keras kepala menggunakan kosakata Indonesia dalam setiap tulisan saya. Kecuali saat saya berada di luar negeri atau sedang harus berkomunikasi dalam bahasa asing tentunya. Konsep tulisan saya sering dicorat-coret dengan alasan bahasa yang (saya anggap) murni bahasa Indonesia itu dinilai tidak komunikatif karena terasa asing di telinga orang Indonesia sendiri. Saya bersikukuh mengganti kata “edit” dengan “sunting”, “observasi” dengan “pengamatan”, “attach” dengan “melampirkan” dan sebagainya. Dan itu merupakan masalah bagi sebagian rekan saya.
Kekeras-kepalaan saya ini rupanya tidak mudah bagi saya sendiri. Saya sering bingung dengan kata sambung, imbuhan dan berbagai rangkaian kata yang jarang ditemui. Salah satu yang saya gunakan referensi adalah koran nasional. Berharap ejaan dan bahasa Indonesia yang digunakan pada koran skala nasional itu benar, ternyata saya salah. Beberapa kali pun saya menemukan beberapa kekurangan. Salah satu kekurangan yang saya sering temui adalah penggunaan kata asing padahal mereka masih bisa menggunakan kosakata Indonesia.
Banyaknya kata asing yang tidak diterjemahkan disebabkan salah satunya oleh kemajuan teknologi. Kosakata berbau teknologi seringkali tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Atau setidaknya belum ada padanan kosakata Indonesia yang pas untuknya. Misalnya “logout” yang diterjemahkan menjadi “log keluar”. Mungkin kita sulit mencari padanan kosakata Indonesia untuk kata “log”. Demikian juga bila kita berjalan-jalan di pusat perbelanjaan. Kosakata asing bertebaran, berkelap-kelip di papan reklame.
Saat ini, saya bisa lebih memaklumi kekurangan tersebut. Namun saya tetap memberi catatan tebal tentang penggunaan kosakata asing dalam sebuah kalimat berbahasa Indonesia. Maaf bila saya keras kepala. Memang benar bahwa kita tidak dapat menggunakan bahasa Indonesia secara murni karena bahasa Indonesia yang kita gunakan saat ini pun adalah serapan dari kosakata asing sejak lama. Misalnya bahasa Arab, Sansekerta, Belanda, Inggris dan Perancis. Saya berbahasa Indonesia hanya karena saya adalah orang Indonesia. Dan saya bangga akan hal itu.

20080213

Go Green

Beberapa tahun terakhir, isu pemanasan global semakin panas saja. Bahkan Al Gore pun membuat film yang bercerita kenyataan pahit tentang fenomena perubahan iklim dan akibatnya. Padahal dia sendiri enggan menerapkan butir2 Protokol Kyoto saat memerintah negaranya yang sangat boros minyak itu!
Tiba-tiba, semua orang jadi fasih berbicara tentang pemanasan global. Bahkan cewek Barbie pun lancar merunut akibat penumpukan gas rumah kaca di atmosfer bumi. Ndak ada yang salah tentang itu. Semuanya bagus karena timbul dari kesadaran tentang kenyataan pahit ini.
Masalahnya baru timbul karena ternyata kekacauan iklim seringkali sebatas wacana. Diomongin di sana-sini tanpa langkah kongkret. Salam hormat untuk teman-teman yang secara aktif mulai mengurangi penggunaan tas belanja plastik, bersepeda ke kantor dan mengefisienkan penggunaan kertas dalam pekerjaannya.
Bumi ini pasti kiamat. Hanya saja sikap hidup kita yang menentukan cepat-lambatnya kedatangan kiamat itu.
Maka hiduplah dengan cara yang lebih ramah lingkungan. "Go Green" itulah sebutannya.

Go Green? Hm... Boleh juga.

20080203

Siapakah aku ini?

Teman, hari-hari ini bisa jadi akhir perjalananku. Nggak ada satu pun catatan tentangnya yang dapat saya torehkan. Sedikit sekali waktuku bersama kalian mengarungi petualangan itu, bersama berpeluh saat mendayung perahu kita. Mungkin memang inilah takdir, menyelesaikan perjalanan dengan penuh peluh dan keluh.

Terima kasih kepada semua teman lain yang menyediakan telinga untuk keluhanku. Tak pantas aku bersanding dengan kalian yang menyediakan segenap waktu dan tenaga untuk bersama mendayung perahu kita. Maaf untuk komitmen yang terlalu mudah lapuk oleh pergumulan hidup. Maaf, teman. Tak ada satu pun kata yang patut untuk membela kedegilan hati.

Semoga perahu itu tetap utuh saat tiba di tujuan. Semoga kalian bisa terus bersama mendayung. Maaf saya hanya bisa melihat di tepian.

-catatan akhir pada kematian si gagak hitam

20080109

Kopi Hitam dari Bli Wayan

Suatu hari, sebagai seorang PNS yang baik, saya menghadiri upacara bendera dalam rangka Hari Sumpah Pemuda. Lapangan upacara sudah penuh. Barisan depan pun sudah rapi. Tetapi di barisan belakang, beberapa orang masih santai mengobrol, termasuk saya (begitulah...). Tiba-tiba Bli Wayan datang menghampiri saya. Sebungkus kopi hitam aseli racikan ibundanya di Singaraja, Bali, diberikannya kepada saya. Waaaaah... "Trims, Bli," ucap saya seraya memasukkan kopi itu ke dalam tas dengan hati berbunga-bunga. Yap... hati saya selalu berbunga-bunga bila menemukan kopi hitam di pasar saat jalan-jalan ke daerah lain. Apalagi kalau diberi gratis.

Di ruang kantor yang sepi karena semua sibuk bekerja, saya mulai mengantuk. Bekerja di depan komputer terasa menjemukan. Kecuali bila sambil online bertamu di blog orang. Kopi Bali pemberian Bli Wayan tidak boleh disia-siakan. Sesendok makan kopi hitam, setengah sendok makan gula pasir dan air hangat secukupnya dalam cangkir berlapis logam dan penutup untuk menjaga suhunya tetap panas.

Air mengucur dari pemanas air ke dalam cangkir. Sendok bercap lambang salah satu maskapai penerbangan nasional pun turut berperan serta mengaduknya. Uapnya membumbung membawa serta aroma khas Kopi Bali, menggelitik hidung.

Nikmat...




Btw... ada yang mau menyumbang kopi hitam untuk saya? Atau ada yang mau bertukar kopi hitam? Jangan ragu untuk hubungi saya.

20080107

Selamat Bekerja

Akhir tahun 2007 adalah "masa-masa indah" karena tiga hari besar (Idul Adha, Natal dan Tahun Baru) membuat hampir semua rakyat Indonesia menikmati libur panjang. Termasuk saya. Setelah sebulan berlayar, rasanya libur kali ini menjadi ajang balas dendam. Berhubung istri masih di Yogya, maka saya menutup tahun di kota itu. Walau hujan mengguyur hampir sepanjang waktu selama berhari-hari, rasanya kenikmatan liburan tidak hanyut oleh hujan itu. Bahkan ada saatnya lebih asik menikmati kota Yogya saat hujan.

Namanya juga libur, berarti ada pula hari kerja. Hm... Puas nggak puas, saya harus meninggalkan Yogya dan kembali ke Jakarta untuk bekerja. Libur lalu bekerja lagi. Kamu juga mengalami hal itu? Ck... langkah berat menuju kantor itu lumrah. Apalagi cuaca mendung masih menggantung di langit ibukota. Tapi untuk itulah kita hidup. Dari sekadar untuk cari uang, hingga bekerja untuk memaknai hidup.

Apapun alasanmu, selamat bekerja, Teman.

Makan soto sambil nyeruput teh anget atau kopi item berarang. Kalau masih lapar, ada jajan pasar yang aseli tanpa bahan pengawet. Hmm...

20080102

Ikan dan Nelayan di Indonesia

Ikan tuna sedang diturunkan dari atas kapal untuk kemudian melalui pemeriksaan untuk diekspor ke Jepang.

Tuna mata besar (Bigeye Tuna - Thunnus obesus) yang tertangkap di Samudera Hindia adalah salah satu komoditas penting perikanan Indonesia. Nilainya mencapai US$ 6/kg untuk ukuran ikan di atas 25 kg per ekor. Namun penangkapannya semakin sulit kini. Hasil tangkapan per satuan unit kapal menurun drastis sejak perikanan tuna mulai marak di era 1970'an. Di tahun 1980'an, sebuah kapal bisa memperoleh hingga 100 ekor tuna dari sekali setting dengan 1000 mata pancing. Di tahun 2007 ini, hasil rata-rata setiap hauling adalah tujuh ekor dari 1.500 mata pancing yang ditebar. Bahkan, tidak mustahil tak seekor tuna pun dalam 1.500 mata pancing itu. Hasil tangkapan memang berfluktuasi mengikuti pola musim dan cuaca. Namun kecenderungan (trend) hasil tangkapan itu tetap nyata.
Eka Chandra, salah seorang kapten sekaligus fishing master sebuah kapal tuna mengungkapkan, kesulitan ini dipicu beberapa hal. Salah satunya adalah perkembangan pelaku usaha di bidang ini. Di samudera yang sangat luas itu, tak jarang mereka berpapasan dengan "pesaing" yang juga sedang memburu fishing ground yang potensial. Hal ini tidak ditemui di era 1970'an dan 1980'an. Penyebab lainnya adalah pemanasan global. Pencairan es menyebabkan penurunan salinitas sebagai salah satu faktor pembatas wilayah migrasi ikan. Selain itu, pola angin dan hujan pun berubah.
Penurunan hasil tangkapan nelayan tentunya berdampak buruk terhadap kehidupan sosial nelayan dan keluarganya. Gaji kecil tanpa bonus adalah makanan sehari-hari nelayan. Kerja sampingan hampir mustahil bagi mereka karena pekerjaan menuntut mereka berlayar berminggu bahkan berbulan tanpa sehari pun mendarat dan berinteraksi dengan dunia luar. Akhirnya mereka memenuhi kebutuhan hidup dengan pola tambal sulam.
Sampai saat ini, belum ada solusi nyata untuk mengatasi semua masalah di atas. Perikanan Indonesia perlu diselamatkan dari kepunahan sumberdayanya. Sistem sosialnya pun perlu dibenahi agar eksplorasi sumberdaya alam ini membawa kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.