20080626

kacamata - mata berkaca - mata berkaca-kaca

Huh...
Sungguh aku bosan berkacamata. Seuntai logam yang membingkai sepasang lensa ini semakin terasa sebagai beban dan menyulitkan. Merepotkan karena harus sering dilap. Menyulitkan saat memakai helm. Menyulitkan saat mengintip dari jendela rana kamera dan mikroskop. Mata minus ini betul-betul menyulitkan. Juga membuat saya tidak leluasa memakai kacamata penangkal sinar matahari yang saya beli dengan harga murah di Blok M.
Dulu, saat masih di bangku sekolah, saya ingin sekali pakai kacamata. Supaya terlihat agak ganteng. Maklum, muka saya pas-pasan. Tapi, saat itu, saya nggak punya alasan untuk memakainya karena mata saya sehat sentosa. Saat itu, saya kadang berharap mata saya menjadi minus agar saya punya alasan berkacamata. Pikiran yang saya anggap bodoh sekarang. Saatnya memang tiba. Saat duduk di kelas 3 SMU, mata saya minus. Lihat obyek yang jauh tampak buram. Kesulitan menyimak penjelasan guru sekolah, saya pun memakai kacamata. Tampak ganteng? Hm... Mungkin. Yang jelas, saya bisa membaca tulisan di papan tulis dari barisan belakang kelas.
Waktu pun berlalu hingga saya kuliah. Kuliah di bidang pemanfaatan sumberdaya perikanan yang banyak praktek lapang, termasuk berlayar. Kesulitan mulai terasa karena kacamata menghambat kegiatan luar ruang. Berlayar diterjang ombak dan hujan membuat kacamata saya basah kuyup. Melepasnya saat kondisi seperti itu juga tidak baik. Berada di sebuah kapal kecil di tengah laut gelap gulita yang sedang bergelombang bisa jadi sama dengan bunuh diri.
Bahkan kesulitan itu terasa di kegiatan dalam ruang. Seperti saat harus menggunakan mikroskop saat praktikum. Apa daya, semua harus dijalani.
Saya hanya ingin mata kembali sehat. Sehingga tidak ada lagi beban dan hambatan untuk beraktivitas. Lagipula kacamata terbukti tidak signifikan mengatrol nilai wajah saya. Saya ingin sembuh. Tapi saya nggak mau operasi. Selain karena nggak punya cukup uang untuk itu, minus mata saya tergolong kecil untuk dioperasi. Saya mencari obat tradisional yang bisa mengobati mata minus. Istri saya pernah pulih mata minusnya karena obat tradisional yang diberikan tetangganya saat tinggal di Samarinda. Sayangnya, istri saya nggak tahu resepnya.
Berat betul hidup berkacamata. Saran saya, jangan pernah bermimpi untuk berkacamata. Apalagi hanya sekadar untuk terlihat ganteng. Nggak penting! Satu yang paling penting adalah mata sehat waalfiat. Bisa menikmati alam ciptaanNya tanpa tergantung seuntai logam yang membingkai sepasang lensa. Satu-satunya lensa yang membuat saya bersyukur bahwa dia ada adalah lensa kamera.

No comments: