20080918

Ini Closet Duduk, Bung!

Hati saya tergelitik saat membaca dua lembar peringatan di sebuah kamar kecil di salah satu rumah sakit di Yogyakarta. Peringatan ini berisi dua hal, yaitu bahwa closet alias jamban yang ada di ruangan itu adalah jamban duduk dan peringatan kepada pegguna untuk menyiram jamban setelah buang air besar dan kecil.
Sebetulnya peringatan ini agak berlebihan. Betapa tidak, manusia masih harus diingatkan bahwa jamban itu adalah jamban duduk, bukan jamban jongkok. Pengelola gedung berharap siapa pun yang akan menggunakan jamban ini melakukan dengan cara yang benar yaitu dengan posisi duduk saat buang air di atas jamban duduk. Banyak masyarakat Indonesia yang belum terbiasa dengan jamban duduk dan berposisi duduk saat buang air. Sehingga mereka memilih tetap jongkok di atas jamban duduk. Padahal hal ini berbahaya karena jamban duduk dirancang untuk digunakan sambil duduk. Beban tubuh si pengguna tidak akan sepenuhnya ditanggung si jamban bila pengguna duduk. Sebaliknya, bila pengguna jongkok, maka beban tubuhnya sepenuhnya ditanggung oleh si jamban. Itulah sebabnya jamban duduk beresiko pecah bila digunakan sambil duduk. Inilah informasi yang pernah saya terima tentang bahaya jongkok di jamban duduk. Jamban duduk itu pecah dan melukai si pengguna yang sedang termenung saat buang air.
Tentang peringatan supaya menyiram jamban setelah buang air tentunya lebih berlebihan lagi. Peringatan ini mungkin disebabkan kekesalan pengelola gedung karena kamar kecil itu sering berbau sebab tidak disiram setelah digunakan oleh pengunjung. Masalah ini bukan lagi masalah biasa-tidak biasa menggunakan jamban duduk. Tetapi merupakan cermin tingkat kepedulian masyarakat kita terhadap kebersihan. Siapa pun tahu bahwa setiap kotoran yang keluar dari tubuh kita itu sifatnya kotor. Namanya juga kotoran. Upil, keringat, pipis dan feses itu kotor. Jadi harus dibuang pada tempatnya. Maka menyiram jamban sesaat setelah buang air besar dan kecil adalah mutlak supaya tempat buang air itu tetap bersih. Hal ini menjadi lebih dari sekadar masalah estetika, bau-harumnya kamar kecil itu misalnya. Barangkali mereka yang tidak biasa menyiram sesaat setelah buang air itu terbiasa buang air di sungai atau comberan. Buang air di saluran air itu memang tidak perlu disiram. Toh feses atau pipis akan langsung hanyut. Tapi ini bukan sungai atau comberan. Ini kamar kecil yang kotorannya harus disiram supaya masuk ke penampungan bernama tanki kuman (septic tank).
Peringatan serupa saya temui tidak hanya di Yogyakarta. Bahkan di Jakarta pun saya pernah mendapatkannya. Cermin bahwa masyarakat kita belum terbiasa menggunakan jamban sesuai kodrat si jamban dan sering lupa menyiram jamban setelah buang air besar dan kecil. Bila memang mayoritas masyarakat kita tidak terbiasa menggunakan jamban duduk, kenapa harus memaksakan memasang jamban duduk di kamar kecil umum. Pengelola gedung sebaiknya mempertimbangkan hal ini.
Sebagian besar gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan di Jakarta menyediakan jamban duduk lebih banyak daripada jamban jongkok. Seorang teman saya sempat kelimpungan saat mengetahui jamban di suatu pusat perbelanjaan di Jakarta Pusat tidak menyediakan air untuk cebok. Dia tidak terbiasa cebok menggunakan kertas tisu yang disediakan. Kebiasaan serupa pasti melekat di mayoritas masyarakat kita yang lebih terbiasa cebok menggunakan air dan sabun. Bahkan konon kabarnya, panitia Olimpiade Beijing 2008 sempat diprotes negara-negara calon peserta karena sulitnya menemukan jamban duduk di arena-arena olahraga yang akan dijadikan lokasi pertandingan. Panitia berkilah bahwa mayoritas penduduk RRC lebih terbiasa dengan jamban jongkok sehingga mereka ngotot menyediakan jamban jongkok jauh lebih banyak daripada jamban duduk.
Masalah buang air bukan masalah sepele. Ini masalah kesehatan. Nggak heran kalau penduduk barat sangat memerhatikan kebersihan kamar kecilnya. Tapi bukan berarti kita ikut-ikutan budaya barat dengan “pro” jamban duduk dan kertas tisunya. Dengan tetap memerhatikan kebersihan kamar kecil, sebaiknya pengelola gedung menyediakan sarana yang sudah biasa digunakan masyarakat kita. Jangan sampai kamar kecil menjadi masalah karena sarana di dalamnya tidak bisa dimanfaatkan secara optimal. Apalagi bila si calon pengguna sudah kebelet, pikirannya hanya satu, bagaimana dia bisa buang air dengan nyaman dan aman.Sebagai pengguna, kita pun harus melatih diri menyesuaikan diri dengan lingkungan. Termasuk saat menemui jamban duduk saat akan buang air besar. Bila tidak terbiasa, tentunya perlu perjuangan ekstra. Latihan ini membantu kita saat kita berada di lingkungan yang asing dengan budaya asing, termasuk hal budaya bentuk jamban di luar negeri misalnya. Seperti pengalaman saya beberapa tahun lalu saat harus sering berhadapan dengan jamban duduk. Ternyata menggunakan jamban duduk membuat saya tetap bisa buang air besar sambil membaca koran dengan nyaman.

1 comment:

Unknown said...

Ngebaca tulisan ini, membuat saya selalu ingat sosok guru yang mengajar ilmu fisika ditahun pertama masa sekolah. Beliau mengatakan;" Keledai, tidak pernah terjerumus kedalam lubang yang sama." Kalimat itu pendek. Tetapi penuh makna. Dan ingatan saya menyimpannya lebih baik dibandingkan terhadap ilmu fisika itu sendiri. Sesungguhnya, guru saya itu sedang menyampaikan pesan supaya kita - manusia – tidak melakukan kesalahan yang sama secara berulang-ulang. Tanpa disadari, ternyata memang kita mempunyai sifat mengulang-ulang kesalahan semacam itu. Kita tahu bahwa itu salah, tapi dilakukan lagi, dan lagi. Kita bertobat.
Namun, kembali melakukannya. Mengapa ya?
Kita sering menemukan orang yang tidak bosan-bosannya melakukan tindakan negatif. Kita sendiripun demikian. Saat kita merenung dimalam hari, hati kita berbisik;"Iya, kenapa saya melakukan hal itu ya? Mestinya kan tidak begitu." Dan ketika kita memikirkannya dengan lebih seksama, ternyata bukan sekali itu saja kita melakukannya. Makanya, tidak mengherankan jika kita sering bercucuran air mata saat menyampaikan pengakuan dosa, namun; kok begitu sulitnya bagi kita untuk menghentikan perbuatan itu. Lalu kita mengaku dosa lagi. Dan melakukan perbuatan itu lagi.
Saya tidak tahu pasti, apakah keledai benar-benar tidak pernah terjerumus kedalam lubang yang sama. Tetapi, kelihatannya memang demikian. Setidaknya, saya melihat perilaku itu pada kuda, karena dikampung saya banyak sekali kuda. Kuda tahu persis lubang yang pernah membuatnya terperosok. Ketika melintasi daerah yang sama, dia membelok; dan selamat dari jebakan lubang itu untuk kedua kalinya.
Ada dua alasan mengapa terperosok kedalam lubang yang sama itu bukanlah gagasan yang bagus. Pertama, terperosok kedalam lubang yang sama menguatkan rasa sakit yang pernah kita alami sebelumnya.
Melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang juga demikian. Ketika kita melakukan kesalahan untuk pertama kalinya, mungkin akan mudah
untuk mendapatkan maaf atau pengampunan. Tetapi, jika kesalahan itu dibuat berulang-ulang? Anda mungkin saja sangat pemaaf, tetapi jika orang yang anda harus maafkan itu melakukan kesalahan yang sama
terus-menerus, apakah pintu maaf itu selalu terus terbuka untuknya?
Orang lain juga demikian. Sekali kita melakukan kesalahan. Mereka memaafkan. Untuk yang kedua kalinya?
Terperosok kedalam lubang yang sama? Hah..., keledai saja tidak pernah. Padahal, kultur kita menganggap keledai itu mahluk paling bodoh dimuka bumi. Sampai-sampai kita membuat frase 'keledai
dungu!'. Hey, keledai itu tidak pernah terperosok kedalam lubang yang sama lho. Manusia seperti kitalah yang sering mengalaminya.
Jadi.... ketika kita bilang 'keledai dungu!', jangan-jangan si keledai bilang ;"Ngaca dong bok!" Agak sedikit memalukan ya. Itulah alasan yang kedua.
Baiklah, mari kita akui saja bahwa kita sering melakukan kesalahan yang sama. Tapi, apakah itu berarti kita harus mengakui bahwa yang dungu itu bukan keledai? Bukankah kita sering mendengar; "Tidak apa-apa, namanya juga manusia. Melakukan kesalahan itu biasa." Kalimat ini ada benarnya. Tapi tidak selamanya demikian. Benar jika kita menerapkannya dalam konteks yang benar. Keliru jika kita menjadikannya alat untuk berkilah. Untuk itu, kita perlu membedakan dua jenis kesalahan yang biasa kita lakukan. Pertama, kesalahan yang berhubungan dengan keterbatasan keterampilan, atau skill kita.
Kedua, kesalahan yang berhubungan dengan pelanggaran norma dan nilai kemanusiaan kita.
Kesalahan jenis pertama tidak serta merta digolongkan sebagai dosa. Kita melakukannya karena memang kita tidak bisa. Hari ini kemampuan kita belum bagus, jadi kesalahan itu terjadi. Tapi, kemudian kita belajar, sampai akhirnya benar-benar mahir. Setelah mahir itulah kita bisa terbebas dari peluang melakukan kesalahan yang sama. Kita tidak salah lagi, karena memang sekarang kita sudah terampil. Jadi, kesalahan yang berulang-ulang masih bisa diterima dalam konteks proses pembelajaran. Kita bisa meminta bantuan teman. Atau mengikuti kursus dan pelatihan. Apa saja. Yang penting ada kemauan, dan disediakan kesempatan untuk melakukan perbaikan.
Kesalahan jenis kedua, lain lagi. Ada tendensi dalam diri kita untuk melakukan itu. Kita tahu bahwa ada hak-hak orang lain yang terampas dengan perbuatan kita. Kita tahu, bahwa mengambil sesuatu yang bukan haknya itu merupakan perilaku buruk. Anehnya, kita bukan sekedar tahu saja; kita menyerukan kepada orang lain untuk tidak melakukannya. Kita turun ke jalan-jalan, lalu meneriakkan slogan-slogan. Dan...., ketika kita mempunyai kesempatan; kesalahan itulah pula yang kita lakukan.
Kita melakukannya dimasa lalu. Baiklah,itu dimasa lalu. Semoga Tuhan mengampuni. Dan orang yang dirugikan memaafkan, mudah-mudahan. Tetapi, itu hanya boleh terjadi dimasa lalu saja. Bagaimana caranya untuk tidak mengulangi hal itu dimasa depan, itulah pertanyaannya kemudian.
Pendek kata; Jangan terlampau merisaukan kesalahan-kesalahan yang kita lakukan karena kurangnya pengetahuan, pengalaman dan keterampilan. Biar saja, karena berbuat kesalahan semacam itu sifatnya manusiawi. Semua orang melakukan kesalahan yang sama ketika tingkat keterampilannya masih rendah. Kita bisa belajar untuk memperbaikinya, kok. Tenang saja. Berlatih dan berkemauan teguh bisa
membantu kita mencapai kesempurnaan. Namun, jika kesalahan itu menyangkut sistem nilai atau pelanggaran norma, maka jalan keluarnya hanya satu: hentikan. Itu saja.
Tak ada manusia yang benar-benar bersih dari kesalahan. Apakah karena ketidaktahuan, atau karena kesengajaan. Itu masa lalu. Masa depan, itulah fokus kita. Terimalah masa lalu kita apa adanya dia, dan rancanglah masa depan dengan lebih baik lagi. Keledai saja bisa. Mengapa kita tidak?
Selain memiliki arti kiasan, kata 'terperosok' dan 'lubang' juga tentu memiliki arti kata yang sebenarnya. Artinya, ada lubang dan ada yang terperosok jatuh kedalam lubang itu. Dijembatan penyeberangan di Surabaya, lempengan baja yang menjadi lantai jembatan jebol dan terjungkat keatas. Membentuk lubang besar yang menganga disana. Orang bisa tersandung atau bahkan terperosok kelubang itu. Kerusakan itu sudah terjadi sejak lama. Dan sampai tanggal 18 September 2008 tidak juga ada perbaikan, malah semakin parah. Adakah yang bisa memberitahu petugas pemda untuk memperhatikan dan memperbaiki kerusakan itu? Tolong beritahukan kepada mereka ya, teman. Jangan karena belum terjadi kecelakaan kita menganggap hal semacam itu sepele.
Dimasa lalu, kita sering membiarkan fasilitas umum rusak sampai terjadi kecelakaan. Itu sebuah kesalahan. Sudah saatnya kita meniru keledai yang tidak melakukan kesalahan yang sama. Mulai sekarang, jika ada jalan yang rusak atau jembatan yang berlubang; jangan membiarkan pengendara motor terjatuh dulu. Atau pejalan kaki tersungkur. Segera perbaiki. Kita dan keledai sama-sama memiliki insting. Kalau keledai melihat jalan berlubang, maka instingnya mengatakan:" Cari jalur lain untuk lewat." Kalau kita melihat lubang semacam itu, maka insting kita mengatakan:"Perbaiki." Lalu kita memanggil kontaktor, dan membayar mereka untuk mengerjakannya sebaik mungkin. Para pembayar pajak berhak mendapatkan semuanya itu.
Catatan Kaki:
Kita bisa berkompromi dengan waktu untuk bertumbuh, hanya jika kita bersedia memperbaiki diri terus-menerus. Jika tidak, waktu tidak terlampau memperdulikan kita. Dan dia akan pergi begitu saja.
Ah...jadi ngelantur sana sini win...jadi capek nulisnya,hehe...jadi intinya apa yaaa,hehe...bukan sesuatu yg berlebihan kok apa yg edwin temuin disana...semangat pren..