20080925

Duet - Merayakan Keberagaman

Selasa, 19 Agustus 2008. Pukul 20.00 WIB.

Jikustik, sebuah band beraliran pop asal Yogya, mengawali penampilannya dengan sebuah intro berirama cepat. Alunan musik disko yang riang memenuhi ruangan studio. Kata demi kata lirik “Nurani” milik band Netral mengalir lancar dari Pongky sang vokalis. Lagu dari sebuah band alternatif dibawakan secara sempurna dengan warna yang samasekali beda dengan warna lagu aslinya. Bagus sang vokalis Netral pun bergoyang dibuatnya. Sambil menonton dari tepi panggung, Bagus, Eno dan Coki tampak sumringah memerhatikan lagunya berganti warna.

Selesai Jikustik, kini giliran Netral membawakan lagu “Setia” milik Jikustik. Lagu sendu yang aslinya bertempo lambat itu pun dibawakan dengan cara Netral. Cepat dan berdistorsi kasar. Bagus melantunkan lagu melankolis itu dengan gayanya. Siapa yang belum mengenal Netral, akan menilai Bagus menyanyikannya secara asal-asalan. Tapi itulah Bagus dan Netralnya. Bukan mereka bermaksud asal-asalan atau menghilangkan jiwa lagunya. Pongky dan kawan-kawannya pun berjingkrak dari barisan penonton di tepi panggung. Pembawaan lagu itu oleh Netral pun bisa memberi makna berbeda dengan pembawaan lagu aslinya oleh Jikustik.

Penampilan kedua band tersebut adalah salah satu episode dari acara “Duet” yang ditayangkan oleh stasiun “Global TV”. Di eposode lainnya, ada band /RIF bersanding dengan Audy Item, atau band Drive duet bersama Maia Estianti. Tampaknya, si pencetus ide acara ini memang ingin mengadu dua musisi yang berbeda warna musik. Adu musik ini bukan untuk membuktikan siapa yang paling jago bermusik karena memang tidak perlu ada pembuktian itu. Toh kedua kubu yang tampil berlatar belakang jenis musik berbeda.

Mereka di sini tampaknya ingin bersenang-senang saja. Membawakan lagu lawannya dengan ciri khas sendiri tampaknya menjadi mainan baru bagi mereka. Mereka pun sumringah, mulai dari sekadar mengentak kaki mengikuti irama, sampai berjingkrak girang saat lagunya dibawakan dengan cara berbeda dari aslinya. Tidak ada ekspresi tidak terima bila lagunya dibawakan dengan gaya samasekali berbeda. Saling melontarkan pujian dan tepuk tangan antar kedua kubu musisi menjadi pemandangan mengasyikan di setiap akhir lagu.

Di akhir acara, kedua kubu berduet menyanyikan lagu dari masing-masing mereka. Perbedaan aliran dan warna vokal tidak mengurangi keindahan lagu yang dibawakan. Seperti saat Andi /RIF dan Audy Item berduet dalam harmoni. Warna vokal keduanya tentu berbeda jauh. Namun saat melihat mereka bernyanyi bersama di akhir acara seperti menguatkan pakem acara bahwa berbeda itu indah. Mereka seperti berpesta, merayakan keberagaman.

Di acara Duet tersebut, frase “berbeda itu indah” bukan slogan tanpa jiwa yang ditempel dengan spanduk. Perbedaan yang indah dinyatakan dalam aksi nyata. Ketika Jikustik memutuskan membawa lagu “Nurani” dengan irama disko bukan berarti mereka tidak menghormati Netral karena tidak membawa lagu itu dengan irama aslinya. Justru itu adalah cara mereka menghargai karya cipta Netral karena Jikustik terbukti mampu mengerahkan segala kemampuannya mengeksplorasi lagu tersebut lalu membawakannya dengan indah. Demikian juga dengan Netral saat membawa lagu-lagu milik Pongky dkk.

Ah, seandainya kemesraan para musisi berbeda aliran itu bisa dicontoh kita semua. Betapa indahnya masyarakat yang berbeda latar belakang bisa bekerja sama. Tidak ada yang merasa paling benar sehingga sipil menghancurkan sipil. Tidak ada yang merasa mayoritas sehingga bisa mendesak minoritas. Tidak ada yang merasa paling suci sehingga mencaci-maki si murtad atas nama tuhannya. Tidak ada…

Ah, mungkin saya terlalu banyak bermimpi. Mengharapkan kedamaian di tengah perbedaan multi-dimensi di negara yang beberapa kali mengalami kerusuhan berbau SARA ini mungkin memang mimpi berlebihan. Garuda Pancasila hanya sebatas lambang tanpa makna yang tergantung di ruang kelas anak sekolah hingga ruang kerja pejabat negara. Kasihan. Sedangkan, di luar sana, kebebasan beragama dan beribadah dipersoalkan, rumah ibadah ditutup dan dihancurkan, mata sipit menjadi hambatan pembuatan Akta Kelahiran, kewajiban pemakaian atribut salah satu agama di sekolah negeri kepada seluruh siswanya.

Lenyap sudah mimpi Bung Karno tentang harmoni dalam perbedaan. Mimpi yang pernah direnungkannya di bawah pohon sukun di Ende dalam pengasingannya oleh Pemerintah Belanda. Mimpi yang juga menjadi pergulatan para pendiri bangsa. Mereka berjuang menyatukan langkah tanpa mempersoalkan perbedaan suku, agama, pendidikan atau apa pun. Visi mereka jelas, Indonesia harus merdeka dan kemerdekaan itu untuk semua masyarakatnya. Dengan kemerdekaan, Indonesia bisa menentukan arah geraknya sendiri. Mereka mendambakan kemerdekaan atas wilayah, politik, pendidikan, pertanian dan setiap hal yang menjadi hak dasar manusia. Keputusan mereka untuk mendirikan sebuah negara berasaskan Pancasila yang menghargai perbedaan pun bukan sekadar keputusan sembarangan. Mereka sadar bahwa kemerdekaan hanya bisa dicapai dengan persatuan setiap insan dari berbagai latar belakang suku dan agama. Sehingga bangsa ini dan kemerdekaannya adalah milik seluruh bangsa. Tidak ada kelompok yang menonjol sendiri dalam peran memerdekakan bangsa ini. Apakah mereka menutup mata terhadap perbedaan itu? Tentunya tidak. Perbedaan tetap ada, namun bukan untuk dibeda-bedakan lalu menjadi penghalang kebersamaan. Justru perbedaan itu bisa menjadi keindahan tersendiri.

Barangkali memang inilah Indonesia sekarang, seperti lirik salah satu lagu Slank berikut:
INdah sekali
DOngeng tidurku
NEnek yang bercerita
SIApapun percaya
INDONESIA… INDONESIA…

No comments: