20100922

Hidangan Lebaran di Rumah Mas Donny


Lebaran kali ini, saya bersilaturahmi dengan Mas Donny dan keluarga. Sekali lagi saya diperlakukan istimewa di sana. Menu utama: obrolan santai dengan tawa di sana-sini. Menu tambahan: gulai kambing, berbagai jenis kue dan minuman dingin. Mantap!





20100411

Penulis, kok, jarang menulis…!!!

Beberapa bulan lalu, saya membaca catatan seorang teman di halaman FBnya. Di tulisannya itu, dia menyebut dirinya adalah seorang penulis yang paling tidak produktif di antara penulis-penulis Kristiani lainnya. Dua 'telapak tangan' menampar saya saat itu. Pertama, saya yang hobi menulis “menulis” di kolom hobi pada biodata saya ternyata juga sangat jarang memublikasikan tulisan. Statistikanya secara persis, saya juga tidak tahu. Yang jelas, kolom catatan pada akun FB dan blog saya belum tentu terisi satu tulisan baru dalam sebulan. Kedua, sebagai seorang Kristen, tentunya alangkah baiknya jika saya menulis yang baik untuk membangun iman sesama Kristiani. Tapi rupanya, di antara sekian sedikitnya tulisan yang saya publikasi, tidak ada satu pun “tulisan rohani.”
Ternyata saya jauh dari kedua kriteria tersebut. Saya bukan seorang penulis yang produktif dan bukan pula seorang penulis Kristiani. Lalu apakah saya?
Tahun 2009 saya awali dengan satu tekad sederhana: saya mengisi blog saya setidaknya dua tulisan tiap bulan. Sekilas, ini terdengar mudah, bukan? Berarti cukup satu tulisan tiap dwiminggunya. Tapi apa yang terjadi adalah hal yang memrihatinkan. Bukannya saya tidak berusaha sama sekali. Saya kadang membaca, merekam hidup saya di rentang waktu yang pendek atau melakukan pengamatan lain demi memenuhi bahan tulisan saya. Tapi seringkali semua itu terhenti di atas tuts papan kunci dengan otak yang terasa beku, dan kadang terasa semburat oleh ide liar yang berterbangan ke sana-sini-situ. Belum lagi bayangan saya bahwa tulisan yang dihasilkan kelak harus berkualitas. Beberapa blog yang saya kunjungi punya statistik tulisan yang sangat tinggi. Namun sayang kualitas tulisannya kurang sip menurut saya. Dan saya tidak mau blog saya seperti itu. Di awal ngeblog, saya pun tergoda untuk seperti itu. Dosa saya lakukan dengan mencantumkan materi yang seratus persen bukan karya saya. Maka saya ingin bertobat.
Kembali tentang proses penulisan, ide yang mampat di ujung jari di atas papan kunci tadi akhirnya terbengkali oleh pekerjaan dan aktivitas baru setelahnya. Seperti jejak di atas pasir yang sekejap hilang oleh angin dan hujan. Berhari-hari, berminggu-minggu hingga akhirnya menguap tanpa bekas. Walau saya ingin kualitas tulisan yang baik, saya tidak bermaksud menulis tesis apalagi disertasi. Setidaknya, cukup sebuah tulisan ringan yang bergizi tapi lezat dikonsumsi. Rupanya saya harus lebih keras berusaha dan mengelola waktu dan tenaga saya untuk menulis kalo memang serius menulis.
Tentang menulis bertema Kristen, sudah lama sekali saya tidak melakukannya. Terakhir saya lakukan itu adalah saat mengurusi buletin persekutuan mahasiswa Kristen di masa kuliah dulu. Walau tidak banyak, saya berusaha menulis beberapa artikel Kristen. Namun semuanya terhenti sejak saya lengser dari kepengurusan. Inilah jeleknya saya, apa pantas seorang disebut penulis bila menulis hanya karena kewajiban struktural sebagai seorang anggota redaksi? Saya rasa tidak. Tapi itulah saya. Tidak melakukan kalau tidak terikat tanggungjawab. Bahkan saat terikat tanggung jawab pun, tulisan seringkali baru selesai di saat tenggat waktu tiba.
Saya sangat mengagumi beberapa teman yang suka menulis dan beberapa penulis tenar. Salah seorang teman sangat berbakat bertutur tentang rasa syukurnya kepada Tuhan. Walau pun dia pernah mengeluhkan hal yang sama seperti saya, yaitu matinya ide di ujung jari di atas papan kunci, setidaknya blognya jauh lebih terpelihara dibanding blog saya. Berkat pun mengalir dari tulisan-tulisannya. Ini terlihat dari komentar teman-temannya di bawah tulisan-tulisannya.
Teman yang lain pun demikian. Walau pun sudah lama absen dari kegiatan menulis karena kesibukan pekerjaan, dia pun masih mampu menelurkan tulisan yang sangat berkualitas. Itu terjadi saat dia memaksakan dirinya menulis terkait pendidikan lanjutannya di bidang teologi. Bobot kecerdasan sejatinya yang terpancar dari tulisannya tidak membuat saya yang ber-IQ pas-pasan ini sulit menangkap apa maksudnya. Saya dengan mudah merangkai ide-idenya itu. Sangat hebat. Maksudnya, dia sangat hebat menulis. Bukan saya yang sangat hebat membacanya.
Seorang teman yang lain, dia masih cukup muda, sedang giat-giatnya mengumpulkan bahan untuk tulisannya. Dia berencana menulis sebuah novel yang berangkat dari potret keseharian kelompok masyarakat tertentu. Dalam suatu diskusi lewat surat elektronik, terlihat gairahnya untuk menulis sangat besar. Tentu dia tidak ujug-ujug ingin menulis novel. Saya beberapa kali membaca tulisan catatannya di FB pun sangat baik. Ide cemerlang dan sederhana dirangkai dalam bahasanya yang lugas dan “dia banget.” Bahasa yang “dia banget” ini bahkan masih dalam koridor tata bahasa Indonesia yang cukup baik. Modalnya untuk menulis novel sangatlah besar.
Saya jadi malu sendiri. Tampaknya mengisi “menulis” di kolom hobi dalam biodata saya masih harus dipertimbangkan lagi. Karena saya masih lebih suka memperbarui status FB yang bahkan kadang bernada lebay. Ah, kalo yang ini lebih karena saya termasuk narsis yang menggemari budaya instan.

20100203

Peta yang Berbicara



Satu kesempatan berharga telah saya peroleh sekali lagi, yaitu mengikuti lokakarya berjudul “Menyajikan Informasi secara Visual melalui Peta dan Poster” yang diselenggarakan oleh komunitas pembaca National Geographic Indonesia (NGI) Yogyakarta pada Minggu (31/1) malam. Inti dari lokakarya ini adalah berbagi informasi tentang cara menyajikan poster dan peta sebagai penunjang tulisan (laporan, feature atau berita). Pembicara acara tersebut adalah Lambok E. Hutabarat, seorang penata letak (layouter) NGI dan Danu Pujiachiri, seorang kartografer NGI. Sedangkan moderator adalah Purwo Subagiyo dari redaksi majalah NGI.
Secara singkat, dijelaskan oleh kedua pembicara, peta dan poster seringkali disisipkan oleh majalah NG karena informasi yang diangkat majalah tersebut secara umum bersifat keruangan. Sehingga segala informasi yang dipaparkan dalam tulisan akan jauh lebih mudah dipahami bila dibantu oleh peta dan poster. Misalnya adalah rangkaian tulisan tentang pola migrasi burung di Indonesia. Burung A yang bermigrasi dari pulau pertama, lalu ke pulau kedua, ketiga untuk selanjutnya terbang ke negara Anu akan lebih mudah dipahami pembaca dengan bantuan peta. Contoh kedua adalah rangkaian tulisan tentang kawasan konservasi di suatu kabupaten. Pembagian kawasan menjadi kawasan industri, permukiman, dan perlindungan akan jauh lebih mudah dipahami juga dengan peta. Peta tersebut menggambarkan pembagian tersebut dengan beberapa butir informasi yang dianggap penting.
Prinsip dasar peta yang berhasil saya catat dari pemaparan Danu adalah pengertian peta sebagai gambaran sebagian atau seluruh permukaan bumi di bidang datar. Syaratnya antara lain adalah (1) harus membuat pembaca lebih mudah mengerti, (2) sesuai kenyataan di lapangan, dan (3) enak dipandang. Salah satu indikasi keberhasilan pembuatan peta adalah pembaca mengerti informasi yang hendak disampaikan. Hal yang sulit adalah meramu begitu banyaknya informasi ke dalam peta yang cukup sederhana namun berbobot. Jangan sampai pula saking sederhananya, peta tersebut miskin informasi. Tapi peta yang menyajikan informasi begitu komplet hingga ramai dan meriah sampai sulit dibaca juga kurang baik. Di sinilah letak tantangan si penata letak untuk membuat peta yang menarik dan informatif. Untuk itulah si penata letak harus pandai bermain warna dan simbol yang sangat membantu bagi peta tersebut untuk “berbicara” kepada pembacanya secara lebih sederhana. Seperti layaknya sebuah tulisan ilmiah, peta yang menyertainya juga harus ilmiah alias sesuai dengan kenyataan. Untuk itulah survey lapangan juga penting.
Proses pembuatan peta diawali dari rapat redaksi yang menentukan tema apa yang akan diangkat. Tema tersebut tentunya terutama akan diungkap melalui serangkaian tulisan. Peta dan poster selanjutnya ditentukan dalam rapat desain tentang hal apa yang akan ditampilkan. Selanjutnya, tim NGI akan melakukan rapat dengan berbagai pemangku kepentingan (stakesholder) yang memiliki data dan informasi yang diperlukan untuk ditampilkan dalam peta itu kelak. Termasuk dalam langkah ini adalah survey lapangan. Dalam survey ini, fotografer mengumpulkan gambar yang memperkaya tulisan dan peta nantinya. Tempat-tempat penting juga dicatat koordinatnya agar peletakannya di peta sesuai dengan kenyataan di lapangan. Setelah data dan informasi terkumpul, maka pembuatan peta alias pemetaan pun dilakukan. Danu yang melakukan hal ini. Setelah itu, Danu menyerahkan hasil pekerjaannya ke Lambok untuk dirancang sedemikian rupa agar dapat ditampilkan dalam peta yang menarik dan informatif. Ada satu lagi tokoh yang penting yaitu penyuting alias editor (namanya Bayu, tidak datang dalam pertemuan ini) yang menyuting naskah informasi dalam peta. Editor ini pula yang menentukan butir-butir penting dalam tulisan yang akan diletakkan di poster dan peta. Dengan demikian, ada kerjasama yang erat antara penulis, penyuting, kartografer dan penata letak.
Rupanya NGI adalah redaksi pertama di dunia untuk redaksi berbahasa lokal yang memiliki divisi pemetaan tersendiri. Hal ini menjadi tantangan bagi Lambok yang berlatar belakang pendidikan desain grafis untuk belajar pemetaan secara otodidak. Diakuinya hal ini sulit. Apalagi untuk memroduksi peta sekelas peta-peta yang telah diproduksi oleh majalah National Geographic berbahasa Inggris. Beberapa karya pertamanya pun diakuinya jelek. Namun dari situlah dia belajar banyak hal tentang peta dan penyajian informasinya. Setiap orang di dalam dapur redaksi NGI memang harus serba bisa. Bahkan Lambok pun, dan setiap orang yang terlibat dalam proses penyiapan materi, harus ikut serta mengritisi tulisan agar enak dibaca. Dari sisi teknis, Danu berbagi informasi tentang perangkat lunak yang digunakannya. Dia menggunakan berbagai perangkat, baik perangkat lunak berbayar mau pun yang gratisan. Syarat sederhananya adalah format produk dari perangkat pemetaan tersebut harus nyambung dengan format yang digunakan oleh Lambok dalam mendesain grafisnya kelak, misalnya “Adobe Illustrator” dan format “tiff”. Sedangkan sumber peta yang digunakan antara lain dari Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional) dan SRTM (Shuttle Radar Topography Mission), yaitu salah satu satelit milik NASA.
Selain peta, poster yang diterbitkan NGI juga menampilkan ilustrasi berupa gambar lukisan dan foto. Menurut Lambok, lukisan dan foto sama-sama berfungsi untuk memperkuat penjelasan dalam peta. Apa yang dipilih untuk ditampilkan, itu tergantung kondisi. Foto memiliki kekuatan gambar yang sesuai kenyataan. Namun tidak semua obyek keterangan bisa ditampilkan dalam foto. Misalnya ilustrasi tentang tokoh yang sudah meninggal, atau tentang ikan laut dalam. Hebatnya, lukisan yang menampilkan ilustrasi hewan di dalam artikel lokal majalah NGI dibuat oleh ilustrator Indonesia. Misalnya ilustrasi burung yang dibuat oleh Agus Priyono, seorang anggota Bird Watching Indonesia. Setiap bahan ilustrasi pun tidak segera dimuat karena harus dikonsultasikan dengan ahlinya. Begitu pun dengan tulisannya. Redaksi NGI memiliki beberapa orang ahli dalam jajaran badan ahlinya (board of experts). Hal ini untuk menjaga agar setiap informasi yang diterbitkan oleh NGI dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Dalam diskusi, terkuak beberapa hal menarik. Antara lain dengan hadirnya Pak Zulkarnaen, seorang guru geografi di sebuah SLTA di Kabupaten Sleman. Beliau menyampaikan tentang betapa membosankannya pelajaran geografi di bangku sekolah. Salah satu penyebabnya adalah kakunya metode pemetaan yang diajarkan. Lambok mencoba menjelaskan bahwa sebaiknya ilmu pemetaan jangan dibuat terlalu kaku. Contoh kecilnya adalah pembuatan simbol legenda. Modifikasi dari simbol-simbol tersebut dapat membantu peta menjadi lebih menarik. Namun demikian tetap ada beberapa aturan dasar yang tidak boleh dilanggar, Danu coba mengingatkan. Danu juga menceritakan pengalamannya bersama Bakosurtanal melatif guru-guru geografi di Takengon, NAD. Keterlibatan masyarakat dalam membuat peta juga perlu diperhatikan. Masyarakat dapat menjadi sumber informasi dalam pemetaan.
Salah satu peserta lokakarnya adalah seorang penggiat Peta Hijau Yogyakarta. Dia memberi gambaran tentang peta dari kacamata yang lain. Peta hijau memang gerakan masyarakat dari berbagai latar belakang yang rindu membuat lingkungan menjadi lebih baik melalui peta. Peta dinilai mampu mendekatkan manusia dengan lingkungan tempat tinggalnya. Menurut pengetahuan saya, salah satu kegiatan Peta Hijau Yogyakarta adalah pemetaan jalur sepeda bersama Pemerintah Kota Yogyakarta. Dengan peta jalur sepeda tersebut, masyarakat diharap mau kembali bersepeda dalam aktivitasnya seperti masyarakat Yogyakarta beberapa dekade lalu. Bukan sekadar demi nostalgia, tetapi demi Yogyakarta yang lebih baik tanpa polusi. Kehadiran anggota Peta Hijau Yogyakarta memperkaya wawasan peserta tentang manfaat peta.
Secara keseluruhan, lokakarya ini sangat bermanfaat bagi penggiat pers, seberapa pun besar-kecil lingkupnya. Menyajikan informasi yang berbobot dan menarik adalah tujuan dari setiap penerbitan media massa sehingga pembaca terus melahap informasi yang disampaikan. Peta dan poster adalah salah satu cara tim redaksi membuat informasi yang berkualitas seperti nasi dan sayur ditampilkan manis dan menarik seperti permen. Yum…!!!