20080229

Berbahasa Indonesia supaya Merasa at Home


Berbahasa Indonesia yang baik dan benar di Negara Kesatuan Republik Indonesia rupanya tidak mudah. Termasuk di Ibukota Jakarta yang menggunakannya sebagai bahasa sehari-hari. Beberapa kali bentrok dengan rekan tentang redaksional naskah pun saya alami. Mulai dari pengejaan kata hingga penggunaan kata serapan yang masih rancu. Sepele? Bagi saya, bahasa dan berbahasa adalah masalah serius karena menyangkut jatidiri sebagai pribadi dan bangsa.
Saya kerap keras kepala menggunakan kosakata Indonesia dalam setiap tulisan saya. Kecuali saat saya berada di luar negeri atau sedang harus berkomunikasi dalam bahasa asing tentunya. Konsep tulisan saya sering dicorat-coret dengan alasan bahasa yang (saya anggap) murni bahasa Indonesia itu dinilai tidak komunikatif karena terasa asing di telinga orang Indonesia sendiri. Saya bersikukuh mengganti kata “edit” dengan “sunting”, “observasi” dengan “pengamatan”, “attach” dengan “melampirkan” dan sebagainya. Dan itu merupakan masalah bagi sebagian rekan saya.
Kekeras-kepalaan saya ini rupanya tidak mudah bagi saya sendiri. Saya sering bingung dengan kata sambung, imbuhan dan berbagai rangkaian kata yang jarang ditemui. Salah satu yang saya gunakan referensi adalah koran nasional. Berharap ejaan dan bahasa Indonesia yang digunakan pada koran skala nasional itu benar, ternyata saya salah. Beberapa kali pun saya menemukan beberapa kekurangan. Salah satu kekurangan yang saya sering temui adalah penggunaan kata asing padahal mereka masih bisa menggunakan kosakata Indonesia.
Banyaknya kata asing yang tidak diterjemahkan disebabkan salah satunya oleh kemajuan teknologi. Kosakata berbau teknologi seringkali tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Atau setidaknya belum ada padanan kosakata Indonesia yang pas untuknya. Misalnya “logout” yang diterjemahkan menjadi “log keluar”. Mungkin kita sulit mencari padanan kosakata Indonesia untuk kata “log”. Demikian juga bila kita berjalan-jalan di pusat perbelanjaan. Kosakata asing bertebaran, berkelap-kelip di papan reklame.
Saat ini, saya bisa lebih memaklumi kekurangan tersebut. Namun saya tetap memberi catatan tebal tentang penggunaan kosakata asing dalam sebuah kalimat berbahasa Indonesia. Maaf bila saya keras kepala. Memang benar bahwa kita tidak dapat menggunakan bahasa Indonesia secara murni karena bahasa Indonesia yang kita gunakan saat ini pun adalah serapan dari kosakata asing sejak lama. Misalnya bahasa Arab, Sansekerta, Belanda, Inggris dan Perancis. Saya berbahasa Indonesia hanya karena saya adalah orang Indonesia. Dan saya bangga akan hal itu.

20080213

Go Green

Beberapa tahun terakhir, isu pemanasan global semakin panas saja. Bahkan Al Gore pun membuat film yang bercerita kenyataan pahit tentang fenomena perubahan iklim dan akibatnya. Padahal dia sendiri enggan menerapkan butir2 Protokol Kyoto saat memerintah negaranya yang sangat boros minyak itu!
Tiba-tiba, semua orang jadi fasih berbicara tentang pemanasan global. Bahkan cewek Barbie pun lancar merunut akibat penumpukan gas rumah kaca di atmosfer bumi. Ndak ada yang salah tentang itu. Semuanya bagus karena timbul dari kesadaran tentang kenyataan pahit ini.
Masalahnya baru timbul karena ternyata kekacauan iklim seringkali sebatas wacana. Diomongin di sana-sini tanpa langkah kongkret. Salam hormat untuk teman-teman yang secara aktif mulai mengurangi penggunaan tas belanja plastik, bersepeda ke kantor dan mengefisienkan penggunaan kertas dalam pekerjaannya.
Bumi ini pasti kiamat. Hanya saja sikap hidup kita yang menentukan cepat-lambatnya kedatangan kiamat itu.
Maka hiduplah dengan cara yang lebih ramah lingkungan. "Go Green" itulah sebutannya.

Go Green? Hm... Boleh juga.

20080203

Siapakah aku ini?

Teman, hari-hari ini bisa jadi akhir perjalananku. Nggak ada satu pun catatan tentangnya yang dapat saya torehkan. Sedikit sekali waktuku bersama kalian mengarungi petualangan itu, bersama berpeluh saat mendayung perahu kita. Mungkin memang inilah takdir, menyelesaikan perjalanan dengan penuh peluh dan keluh.

Terima kasih kepada semua teman lain yang menyediakan telinga untuk keluhanku. Tak pantas aku bersanding dengan kalian yang menyediakan segenap waktu dan tenaga untuk bersama mendayung perahu kita. Maaf untuk komitmen yang terlalu mudah lapuk oleh pergumulan hidup. Maaf, teman. Tak ada satu pun kata yang patut untuk membela kedegilan hati.

Semoga perahu itu tetap utuh saat tiba di tujuan. Semoga kalian bisa terus bersama mendayung. Maaf saya hanya bisa melihat di tepian.

-catatan akhir pada kematian si gagak hitam