20070216

Kisah yang Belum Usai

Yogyakarta dan Klaten, Sabtu, 27 Mei 2006. Hari masih pagi, pukul enam kurang beberapa menit. Matahari belum juga tinggi. Beberapa ibu rumah tangga menyapu halaman, dan beberapa lainnya mengayuh sepeda menuju pasar. Beberapa bapak mengurus ayam peliharaan. Anak-anak masih terbuai mimpi atau sekadar bermalasan di kasur di penghujung pekan. Saat denyut aktivitas masih perlahan inilah perut bumi bergoncang hebat. Tanah padat berguncang bak gelombang samudera raya. Sempat terlintas dalam hati, “Inikah akhir dunia?”

Semua orang yang masih terlelap bangkit dari tidurnya, semua orang terbirit mencari aman di luar rumah. Rumah yang selama ini meneduhi kehidupannya berubah bak neraka yang memunahkan siapa pun yang berada di dalamnya. Atap rumah bisa runtuh kapan saja akibat goncangan hebat sang bumi dan nyawa siapa pun bisa tercabut seketika akibatnya.

Banyak orang berhasil keluar meninggalkan rumahnya. Namun banyak lagi yang terjebak di reruntuhan. Sebagian dapat diselamatkan kerabat atau siapa pun yang melihatnya. Beberapa lagi meregang nyawa di reruntuhan rumah sendiri. Namun ada pula yang berkorban menyelamatkan buah hatinya. Seorang nenek meninggal, kepalanya tertimpa reruntuhan tembok saat melindungi cucu tercinta. Seorang ibu muda mengalami pendarahan di mata demi menahan reruntuhan tembok yang akan menimpa bayi mungilnya. Masih banyak lagi perngorbanan sang kekasih demi sang terkasih.

Listrik mati, telepon terputus dan matilah alur informasi. Kabar yang segera tersebar di penjuru Nusantara menghenyak setiap benak. Teringat kerabat di lokasi bencana gempa bumi lalu berusaha mencari kabar. Tidak ada sedikit pun jawaban dari seberang telepon. Kepanikan menyelimuti mereka yang saudaranya diduga menjadi korban bencana.

“Tsunami… tsunami…”

Lokasi gempa yang di tepi laut mendatangkan kepanikan lain. Belajar dari pengalaman lalu di belahan bumi yang lain, mereka panik lalu menjauhi pantai. Serentak ribuan orang tumpah ruah di jalan, berusaha menyelamatkan diri dari kemungkinan tersapu ombak yang pernah menggeliat dan memunahkan ratusan ribu orang sesaat setelah gempa.

Satu jam berlalu…

Dua jam berlalu…

Sang gelombang maha besar itu tidak datang. Atau belum datang? Antara yakin dan ragu, penduduk kembali menuju rumahnya masing-masing. Rumah yang sudah luluh lantak.

Ah, rumah itu tidak ada lagi. Hanya bersisa puing reruntuhan. Sang istri tercinta hanya duduk lemas di bawah pohon di halaman rumah yang tidak ada bangunan rumahnya lagi. Anak-anak menangis melihat kedua orang tuanya tidak setegar biasanya. Dengan tangan kosong atau kayu, mereka mengais sisa harta yang tidak seberapa. Menyelamatkan benda berharga agar kesialan ini tidak terlalu sial.

Dusun ini telah habis. Tak satu pun rumah tersisa. Ratusan orang kehilangan tempatnya bernaung dari panas dan hujan. Kepala dusun yang bernasib sama tetaplah seorang kepala dusun, bertanggung jawab memikirkan nasib warganya walau mungkin anggota keluarganya pun ada yang menjadi korban.

Di sebuah tanah lapang, mereka bergotong royong membentangkan kain, terpal atau apa saja yang mampu meneduhi mereka dari sengatan matahari dan hujan. Matahari beringsut ke ufuk barat. Langit semburat kuning kemerahan lalu datanglah malam. Anak-anak terlelap dalam mimpinya di pelukan ibu yang selalu terjaga. Sang ayah terus berjaga bersama teman. Berjaga sambil memikirkan bagaimana anak-istri mereka makan besok. Berjaga sambil memikirkan bagaimana membangun sebuah rumah demi anak-istri mereka. Di tengah rasa sial tertimpa bencana dan keterbatasan daya, masih terbesit secercah harapan bahwa hidup ini belum usai. [win]