20091021

Danau Tempe - dulu, kini dan esok

Danau Tempe, Sulawesi Selatan, adalah salah satu ekosistem lahan basah unik karena memiliki hubungan dengan beberapa danau kecil di sekitarnya seperti Danau Sidenreng dan Danau Buaya yang dianggap sebagai satu kesatuan ekosistem Danau Tempe. Danau Sidenreng termasuk ke dalam kawasan Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), sedangkan Danau Buaya masuk ke dalam kawasan Kabupaten Wajo. Danau Tempe dikelilingi oleh tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Wajo, Sidrap dan Soppeng. Saat musim banjir, luas Danau Tempe mencapai 30.000 hektar. Namun, saat kemarau, danau ini menyusut menjadi 10.000 ha.

Seumur dengan perkembangan budaya manusia di sekitar Danau Tempe, setua itulah sejarah perikanan di sana. Masyarakat sejak lama memanfaatkan sumberdaya ikan di Danau Tempe untuk kebutuhan gizinya. Di era tahun 1970an, Danau Tempe adalah salah satu pemasok utama kebutuhan ikan konsumsi di Jawa. Bahkan Danau Tempe sempat menjadi sumber terbesar ikan sidat untuk kebutuhan ekspor Indonesia. Danau Tempe memang memiliki cukup ragam sumberdaya ikan, antara lain ikan sidat dan ikan bungo atau beloso. Selain ikan konsumsi, Danau Tempe juga punya ikan hias air tawar yaitu Binishi (Oryzias celebensis) dan Celebes Rainbow (Telmatherina ladigesi). Pemasaran keduanya mencapai benua Eropa dan Amerika.

Dari sisi lingkungan, Danau Tempe memiliki arti penting. Selain sumberdaya ikan, ekosistem riparian di sekitarnya merupakan habitat berbagai jenis burung. Beberapa adalah burung migran yang melintasi antar benua dan singgah di danau tersebut di musim tertentu. Sebagian jenis burung masuk dalam Apendiks I dan II CITES (Convention on International Trade in Endangered Species), sebuah konvensi tentang perdagangan internasional atas hewan-hewan terancam punah. Bagi masyarakat sekitar, Danau Tempe adalah sumber kehidupan. Kandungan airnya menjamin keberadaan air tanah untuk minum dan mandi. Lahan di sekitar Danau Tempe tergolong subur. Kabupaten Sidenreng Rappang adalah lumbung padi bagi masyarakat Sulawesi Selatan dan sekitarnya. Semua tidak terlepas dari sistem lingkungan antara perairan Danau Tempe, sungai yang masuk dan keluar darinya serta daratan di sekitarnya.

Namun keindahan dan kemampuan Danau Tempe dalam menopang kehidupan masyarakat di sekitarnya memudar seiring berjalannya waktu. Danau Tempe mengalami pendangkalan, itulah kesimpulan banyak ahli lingkungan. Saat kemarau, airnya menyusut sangat drastis hingga danau yang mengering menjadi sumber konflik dalam pengusahaan pertanian. Saat musim hujan dan banjir, rumah panggung penduduk pun terendam. Seolah memaksa penduduk berhenti beraktivitas.

Belasan bahkan puluhan diskusi, forum, kajian, survey dan penelitian sudah dilakukan di danau kebanggaan masyarakat Bugis ini. Namun penduduk berkata bahwa tidak ada satu pun realisasi dari hasil penelitian tersebut. Mereka mungkin memang tidak mengerti seluk-beluk ekosistem dan istilah-istilah populernya. Apa yang mereka pahami adalah bahwa alam seharusnya menjadi wakil Tuhan sebagai pemenuh kebutuhan hidup manusia, bukan sebaliknya.

Sempat ada rencana pembuatan bendungan terapung di Sungai Cenrana, saluran keluar air dari Danau Tempe menuju laut di Teluk Bone. Sebagian masyarakat di hilir setuju dengan alasan supaya mereka tidak kebanjiran lagi. Sebagian masyarakat di tempat lain menolak keras dengan alasan bendungan akan memperparah pola aliran air Danau Tempe dan menghapuskan mata pencaharian mereka. Namun satu yang hampir pasti, bendung akan memutus jalur migrasi ikan sidat lalu memunahkannya.

Apa pun rencana yang sedang disusun dan segala analisanya, masyarakat Danau Tempe berharap danau itu dapat memberi kembali keberkahan seperti masa lalu. “Dulu, dengan menjadi nelayan, saya bisa berangkat naik haji,” ujar salah seorang nelayan. Ya, semoga kelak ada lagi kemurahan Danau Tempe bagi masyarakat di sekitarnya.

20091014

Memaknai Rumah - pembelajaran dari Tisna Sanjaya

Harian Kompas edisi Minggu, 11 Oktober 2009, menampilkan seniman Tisna Sanjaya dan rumahnya dalam kolom Rumahku di halaman 27. Pelukis asal Bandung tersebut membeli rumah di Desa Cigondewah, Kota Bandung, dari seorang kolektor. Dengan cara purbakala, Tisna menukar 6 lukisannya dengan sebidang tanah seluas 600 meter persegi. Lokasi tanah itu adalah tempat di mana sampah plastik menumpuk dan didaur-ulang.

Di tulisan tersebut diceritakan betapa lingkungan di situ sudah tercemar. Sungai yang sekarang melewati belakang rumah Tisna adalah saluran pembuangan limbah pabrik tekstil. Warna airnya tergantung pewarna apa yang dibuang di hulu sungai tersebut. Tanah di mana Tisna menggali untuk membuat pondasi rumah pun penuh berisi sampah plastik hingga kedalaman 2 meter.

Tulisan itu pun tidak secara eksplisit menuturkan niat Tisna mendirikan rumah di kawasan itu. Hanya ada secuplik kutipan jawaban Tisna saat ditanya warga tentang bangunan apa yang akan didirikannya di atas tanahnya. “Umumnya mereka tanya, apakah saya mau bangun gudang atau pabrik. Ketika saya bilang rumah tempat pendidikan, mereka terheran-heran,” ujarnya seperti ditulis Kompas.

Maka rumah itu pun disebut sebagai rumah singgah bagi setiap orang terutama warga sekitar Cigondewah yang tiap harinya bergelut di kerasnya dunia industri. Satu bangunan digunakannya untuk bersosialisasi dengan warga sekitar. Sedangkan satu bangunan lainnya untuk seniman yang tinggal dan ingin berkarya. Baginya, rumah tersebut adalah karya seni yang mengembalikan nilai seni pada asal muasalnya, yaitu memanusiakan manusia.

Penduduk Cigondewah yang telah lama terjebak pada pola industri rupanya secara tidak sadar telah berubah seperti robot. Kehilangan nilai sejatinya sebagai manusia yang punya budaya terhadap sesama manusia dan alam di sekitarnya. Penduduk terheran-heran ketika diajaknya menanam pohon. Bahkan pandangan mereka terhadap sungai pun hanya sebatas tempat pembuangan limbah.

Mungkin di sinilah tujuan Tisna hadir di tengah mereka. Mencoba menyadarkan kembali masyarakat di sekitarnya akan martabatnya sebagai manusia yang utuh. Hebatnya, Tisna datang tidak dengan genderang perang melawan industri. “Saya tidak membenci industri, tetapi sebenarnya tetap harus dilakukan dengan mempertimbangkan keseimbangan. Plastik boleh, tetapi jangan lupa solusi mengatasi pencemaran yang diakibatkan olehnya,” katanya.

Di sini saya tersentak dan memaknai ulang rumah idaman bagi saya kelak. Rumah bukan lagi sekadar tempat kita beristirahat setelah seharian membanting tulang mencetak uang. Bukan pula sekadar menaungi keluarga dari tindak kejahatan dan hujan petir. Namun rumah adalah tempat kita bersosialisasi dengan sesama manusia, antara ayah, ibu dan anak serta tetangga.

Ibu mertua saya pernah berucap bahwa tetangga lebih dari saudara. Tetangga adalah orang pertama yang datang saat kita mengalami musibah di rumah, entah misalnya kebakaran atau kecurian. Tapi bukan sekadar berdasar asas manfaat itu mengapa kita bertetangga. Bertetangga membuka peluang bagi kita untuk berbagi ilmu dan rasa cinta terhadap lingkungan. Seperti Tisna yang dengan cara damai membuka mata buruh pabrik terhadap pentingnya menjaga lingkungan tetap bersih dan asri. Buruh pabrik tersebut sebelumnya mungkin tidak pernah terpikir samasekali tentang manfaat menanam pohon karena apa yang ada di kepalanya hanya proses produksi yang menjadi tanggung-jawabnya di pabrik sehingga dia diberi upah untuk menafkahi anak-istrinya di rumah. Di rumahnya, Tisna berbagi rasa.

Konsep berumah seperti Tisna Sanjaya saat ini digerus oleh rasa saling curiga antar manusia. Perusahaan pembangun perumahan akhir-akhir ini pun menawarkan konsep rumah seikat (cluster). Tujuan konsep seikat ini salah satunya adalah untuk lebih mudah mengendalikan keamanan lingkungan. Bentuknya jelas, sekelompok kecil rumah dipagari tinggi-tinggi. Masuk ke komplek tersebut pun hanya melalui satu pintu yang dijaga petugas keamanan. Ketika saya memasuki salah satu komplek perumahan seikat di Serpong, saya harus menyebut nama pemilik rumah. Petugas satpam pun memperbolehkan saya masuk karena tujuan saya jelas. Itulah konsep berumah dan bertetangga saat ini. Jelas bahwa manusia kehilangan rasa amannya dan kepercayaannya terhadap sesama manusia.

Seorang dosen arsitektur dari Yogya, yang pernah juga muncul di rubrik yang sama dengan Tisna namun saya lupa namanya, pun mengritisi hal ini. Baginya, sistem seikat meruntuhkan nilai manusia sebagai makhluk sosial. Baginya, keamanan bukan diciptakan dengan cara memagari diri tinggi-tinggi dari sesama manusia. Justru merubuhkan pagar tembok dan bergaul erat dengan tetangga adalah “pagar keamanan” kita yang sejati. Lebih dari sekadar hal keamanan, bertetangga juga tentang berbagi dan saling memberi dengan tetangga.

20090109

Pemakaman di Awal Tahun

Selasa pagi, 6 Januari 2009, saya mendapat berita duka tentang kepergian ibu mertua salah satu teman kantor. Seorang teman mengabarkan bahwa almarhumah akan segera dimakamkan jam 11 siang ini juga di Taman Pemakaman Tanah Kusir. Saat itu juga, beberapa dari rekan mewakili kantor segera bertolak ke Tanah Kusir. Dari Ragunan, perjalanan cukup singkat karena melalui Tol Lingkar Luar Selatan yang menerobos langsung ke Jalan Veteran, Bintaro. Sekitar limabelas menit, kami tiba di komplek pemakaman. Di lokasi yang akan menjadi liang lahat masih sepi. Kami pun menyempatkan diri berziarah ke makam salah satu mantan pimpinan unit kerja kami. Almarhum meninggal pada tahun 2003. Saya belum bekerja di situ saat almarhum meninggal. Namun cerita kenangan tentang kebaikan, keusilan dan canda tawanya masih sering terdengar sampai sekarang. Seorang pimpinan yang sering main ke ruang kerja anak buahnya untuk sekadar menyapa atau mengobrol. Seorang pimpinan yang pintar. Begitulah seorang pimpinan baik akan dikenang di hati anak-anak buahnya.
Tidak lama saat kami berziarah, rombongan pengantar jenazah almarhumah ibu mertua teman kantor saya tiba di lokasi. Segera saja mereka menuju liang lahat yang telah disiapkan, di sebuah liang yang sama tempat almarhum suaminya dibaringkan untuk selama-lamanya. Suami-istri dalam satu liang lahat. Keluarga dan kerabat yang hadir tidak terlalu banyak. Anak dan cucu mengelilingi liang lahat sambil terisak. Sementara itu jenazah diturunkan ke dalam liang lahat untuk kemudian dikuburkan. Pemakaman secara Islam ini pun terus berlangsung dengan penaburan bunga dan pembacaan doa. Beberapa cucu almarhumah tampak tidak kuat menanggung kesedihan ditinggalkan nenek tercintanya. Bahkan seorang bapak yang sepertinya merupakan anak almarhum juga tidak kuat menahan air matanya. Beliau menangis sesenggukan.
Kematian di awal tahun ini secara saya tidak sadari membuat saya berpikir kembali tentang makna hidup. Awal tahun biasanya dipenuhi resolusi, angan-angan, cita-cita atau sebagainya yang intinya adalah harapan yang ingin dicapai di tahun yang baru dijalani. Namun di awal tahun ini, pergumulan saya tentang resolusi tahun 2009 seperti ‘terusik’ dengan kunjungan ke taman pemakaman. Kedatangan saya yang singkat di taman pemakaman Tanah Kusir membawa dampak yang cukup kuat terhadap pandangan saya tentang hidup.
Hidup ini begitu singkat. Seorang penyair agung menggambarkan hidup manusia hanya seperti rumput. Hari ini ada dan besok layu lalu lenyap tersapu angin. Enam puluh tahun usia rata-rata manusia. Kalau cukup sehat, manusia bisa mencapai tujuh puluh atau delapan puluh tahun. Jarang yang bisa menembus usia sembilan puluh atau seratus tahun.
Saya bertanya dalam hati tentang apa yang saya telah kerjakan dalam hidup. Tentang waktu yang telah saya lewati, tentang kesempatan-kesempatan yang saya sengaja lepas begitu saja, tentang pencapaian-pencapaian yang membanggakan, tentang kegagalan, tentang persahabatan dan permusuhan. Ada rasa syukur dan sesal atas semua itu. Apa arti semua pengalaman itu, kadang saya tidak mengerti.
Tahun 2008 adalah tahun yang penuh pergulatan. Begitu banyak anugerah saya terima dari Tuhan. Darrell Nathan Raditama adalah anugerah terindah tahun ini. Seorang anak yang menyadarkan saya akan kebesaran Tuhan dan pengorbanan orangtua kepada anak-anaknya. Pergumulan selanjutnya bersama Darrell dan istri saya juga menjadi batu ujian dalam hidup saya. Selain keindahan, saya juga merasakan kegagalan yang amat sangat dalam kehidupan karier saya. Saya merasa inilah tahun terburuk karena saya nyaris melewatinya tanpa torehan karya yang berarti.
Maka, sampai saat ini, saya masih bergumul tentang resolusi, cita-cita dan harapan untuk hidup saya dan keluarga di tahun 2009 dan selanjutnya. Harapan agar saya bisa lebih berkarya. Cita-cita untuk merintis pendidikan lanjutan. Pergumulan yang dimulai dari dalam diri saya sebagai seorang pribadi, seorang anak manusia. Sulit memang...
Sedikit mundur ke akhir tahun 2008, saya ingat saat ibadah malam tahun baru, 31 Desember 2008 di Yogya. Jimmy, seorang teman yang duduk di samping saya, menanyakan apa target saya di tahun 2009. Setelah saya menyebutkan target saya, dia menyebutkan apa yang menjadi targetnya. Dia bilang bahwa dia ingin lebih dekat lagi dengan Tuhan. Saya pun ingat seorang penyair pernah menulis bahwa takut kepada Tuhan adalah permulaan segala hikmat. Tuhan mengingatkan saya tentang apa yang utama harus saya raih terlebih dulu. Dengan hikmatNya, hidup saya tidak sia-sia. Pun dengan kematian saya kelak.