20100411

Penulis, kok, jarang menulis…!!!

Beberapa bulan lalu, saya membaca catatan seorang teman di halaman FBnya. Di tulisannya itu, dia menyebut dirinya adalah seorang penulis yang paling tidak produktif di antara penulis-penulis Kristiani lainnya. Dua 'telapak tangan' menampar saya saat itu. Pertama, saya yang hobi menulis “menulis” di kolom hobi pada biodata saya ternyata juga sangat jarang memublikasikan tulisan. Statistikanya secara persis, saya juga tidak tahu. Yang jelas, kolom catatan pada akun FB dan blog saya belum tentu terisi satu tulisan baru dalam sebulan. Kedua, sebagai seorang Kristen, tentunya alangkah baiknya jika saya menulis yang baik untuk membangun iman sesama Kristiani. Tapi rupanya, di antara sekian sedikitnya tulisan yang saya publikasi, tidak ada satu pun “tulisan rohani.”
Ternyata saya jauh dari kedua kriteria tersebut. Saya bukan seorang penulis yang produktif dan bukan pula seorang penulis Kristiani. Lalu apakah saya?
Tahun 2009 saya awali dengan satu tekad sederhana: saya mengisi blog saya setidaknya dua tulisan tiap bulan. Sekilas, ini terdengar mudah, bukan? Berarti cukup satu tulisan tiap dwiminggunya. Tapi apa yang terjadi adalah hal yang memrihatinkan. Bukannya saya tidak berusaha sama sekali. Saya kadang membaca, merekam hidup saya di rentang waktu yang pendek atau melakukan pengamatan lain demi memenuhi bahan tulisan saya. Tapi seringkali semua itu terhenti di atas tuts papan kunci dengan otak yang terasa beku, dan kadang terasa semburat oleh ide liar yang berterbangan ke sana-sini-situ. Belum lagi bayangan saya bahwa tulisan yang dihasilkan kelak harus berkualitas. Beberapa blog yang saya kunjungi punya statistik tulisan yang sangat tinggi. Namun sayang kualitas tulisannya kurang sip menurut saya. Dan saya tidak mau blog saya seperti itu. Di awal ngeblog, saya pun tergoda untuk seperti itu. Dosa saya lakukan dengan mencantumkan materi yang seratus persen bukan karya saya. Maka saya ingin bertobat.
Kembali tentang proses penulisan, ide yang mampat di ujung jari di atas papan kunci tadi akhirnya terbengkali oleh pekerjaan dan aktivitas baru setelahnya. Seperti jejak di atas pasir yang sekejap hilang oleh angin dan hujan. Berhari-hari, berminggu-minggu hingga akhirnya menguap tanpa bekas. Walau saya ingin kualitas tulisan yang baik, saya tidak bermaksud menulis tesis apalagi disertasi. Setidaknya, cukup sebuah tulisan ringan yang bergizi tapi lezat dikonsumsi. Rupanya saya harus lebih keras berusaha dan mengelola waktu dan tenaga saya untuk menulis kalo memang serius menulis.
Tentang menulis bertema Kristen, sudah lama sekali saya tidak melakukannya. Terakhir saya lakukan itu adalah saat mengurusi buletin persekutuan mahasiswa Kristen di masa kuliah dulu. Walau tidak banyak, saya berusaha menulis beberapa artikel Kristen. Namun semuanya terhenti sejak saya lengser dari kepengurusan. Inilah jeleknya saya, apa pantas seorang disebut penulis bila menulis hanya karena kewajiban struktural sebagai seorang anggota redaksi? Saya rasa tidak. Tapi itulah saya. Tidak melakukan kalau tidak terikat tanggungjawab. Bahkan saat terikat tanggung jawab pun, tulisan seringkali baru selesai di saat tenggat waktu tiba.
Saya sangat mengagumi beberapa teman yang suka menulis dan beberapa penulis tenar. Salah seorang teman sangat berbakat bertutur tentang rasa syukurnya kepada Tuhan. Walau pun dia pernah mengeluhkan hal yang sama seperti saya, yaitu matinya ide di ujung jari di atas papan kunci, setidaknya blognya jauh lebih terpelihara dibanding blog saya. Berkat pun mengalir dari tulisan-tulisannya. Ini terlihat dari komentar teman-temannya di bawah tulisan-tulisannya.
Teman yang lain pun demikian. Walau pun sudah lama absen dari kegiatan menulis karena kesibukan pekerjaan, dia pun masih mampu menelurkan tulisan yang sangat berkualitas. Itu terjadi saat dia memaksakan dirinya menulis terkait pendidikan lanjutannya di bidang teologi. Bobot kecerdasan sejatinya yang terpancar dari tulisannya tidak membuat saya yang ber-IQ pas-pasan ini sulit menangkap apa maksudnya. Saya dengan mudah merangkai ide-idenya itu. Sangat hebat. Maksudnya, dia sangat hebat menulis. Bukan saya yang sangat hebat membacanya.
Seorang teman yang lain, dia masih cukup muda, sedang giat-giatnya mengumpulkan bahan untuk tulisannya. Dia berencana menulis sebuah novel yang berangkat dari potret keseharian kelompok masyarakat tertentu. Dalam suatu diskusi lewat surat elektronik, terlihat gairahnya untuk menulis sangat besar. Tentu dia tidak ujug-ujug ingin menulis novel. Saya beberapa kali membaca tulisan catatannya di FB pun sangat baik. Ide cemerlang dan sederhana dirangkai dalam bahasanya yang lugas dan “dia banget.” Bahasa yang “dia banget” ini bahkan masih dalam koridor tata bahasa Indonesia yang cukup baik. Modalnya untuk menulis novel sangatlah besar.
Saya jadi malu sendiri. Tampaknya mengisi “menulis” di kolom hobi dalam biodata saya masih harus dipertimbangkan lagi. Karena saya masih lebih suka memperbarui status FB yang bahkan kadang bernada lebay. Ah, kalo yang ini lebih karena saya termasuk narsis yang menggemari budaya instan.