20080627

Tompi Bernyanyi untuk Saya! Hanya untuk Saya!

Sungguh, Tompi bernyanyi untuk saya! Hanya untuk saya!

Kalimat demi kalimat terucap melalui suaranya yang merdu. Lagu-lagunya tentang cinta, wanita dan kecintaannya pada musik. Diiringi petikan gitar yang padu dengan drum, bas, piano dan berbagai alat musik lainnya.
Sudah beberapa lagu dinyanyikannya. Walau saya tidak memberinya pujian, bahkan saya kerap bersikap mengacuhkannya, tapi Tompi terus bernyanyi. Lagu-lagunya membuat pagi saya di hari ini semakin cerah. Saya pun bisa konsentrasi berkutat pada pekerjaan saya. Memandangi baris demi baris tugas yang sedang saya ketik dengan tenang. Itu semua berkat Tompi yang terus bernyanyi tanpa henti, tanpa mengeluh. Bila suaranya kurang keras, saya bisa menambah volume suaranya. Bila terlalu keras, saya tinggal mengurangi volumenya. Mudah sekali. Dan tanpa keluhan dari Tompi sama sekali.

Tompi terus bernyanyi hingga tak terasa sudah satu album selesai dinyanyikannya. Kini giliran Melly Goeslaw bernyanyi untuk saya. Album solonya yang berjudul "Sendiri Dulu" menjadi pilihan. Si pencipta lagi paling produktif dan populer di Indonesia itu pun mulai bernyanyi. Sama seperti Tompi, teh Melly, demikian teman-teman dekatnya memanggilnya demikian, tidak mengeluh bernyanyi untuk saya. Satu per satu liriknya yang berkarakter kuat mengalir dari mulutnya.

Hm... indahnya hidup ini. Penyanyi besar Indonesia tidak segan-segan bernyanyi untuk saya. Hanya untuk saya. Tompi dan Melly, hingga Slank dan God Bless siap sedia bernyanyi untuk saya. Kapan pun saya mau mendengarkan mereka. Tanpa bersungut-sungut, mereka bernyanyi. Tanpa tersinggung, mereka pun bisa diganti dengan penyanyi lain oleh saya.

Oh... indahnya MP3 bajakan! Ruang kerja di kantor, kamar di rumah dan di mana pun saya bekerja, semua menjadi lebih terasa nyaman dengan lagu-lagu mereka. Koleksi saya sebetulnya tidak selengkap teman-teman saya karena selera musik saya terbatas. Walau tidak pandai bermusik, saya termasuk selektif untuk menyatakan seorang penyanyi atau sebuah kelompok musik itu bagus atau pas-pasan. Sombongnya saya dalam berselera musik membuat saya hanya menyukai beberapa penyanyi.

Tapi ruang kerja saya termasuk paling sering diwarnai musik. Sejak tiba di kantor hingga akan pulang kerja, ruang kerja saya jarang sekali senyap tanpa musik. Walau kebanyakan musik yang saya putar saya dapatkan dengan cara ilegal, yaitu menyalinnya dari teman. Tindakan ini dimasukkan ke dalam kategori pembajakan. Ya, saya pembajak lagu orang. Hanya beberapa yang saya beli legal berupa album resmi dalam bentuk cakram kompak lalu saya ubah formatnya agar lebih mudah diputar di komputer.

Sungguh saya mohon maaf kepada Tompi, Melly dan semua artis Indonesia yang telah saya putar lagunya tanpa saya bayar royalti kepada mereka. Sungguh saya masih merasakan mahalnya harga album mereka. Walau pun karya mereka sebetulnya jauh lebih mahal dari sekadar sekeping cakram kompak berisi lagu yang dibalut kertas sebagai sampulnya. Saya memang egois. Mau menikmati karya orang lain tanpa menghargainya secara material. Saya berjanji, saya tidak akan marah bila karya saya dibajak orang bila saya menjadi penyanyi atau pemusik terkenal seperti kalian. Tapi kapan ya, saya bisa seperti kalian?

20080626

kacamata - mata berkaca - mata berkaca-kaca

Huh...
Sungguh aku bosan berkacamata. Seuntai logam yang membingkai sepasang lensa ini semakin terasa sebagai beban dan menyulitkan. Merepotkan karena harus sering dilap. Menyulitkan saat memakai helm. Menyulitkan saat mengintip dari jendela rana kamera dan mikroskop. Mata minus ini betul-betul menyulitkan. Juga membuat saya tidak leluasa memakai kacamata penangkal sinar matahari yang saya beli dengan harga murah di Blok M.
Dulu, saat masih di bangku sekolah, saya ingin sekali pakai kacamata. Supaya terlihat agak ganteng. Maklum, muka saya pas-pasan. Tapi, saat itu, saya nggak punya alasan untuk memakainya karena mata saya sehat sentosa. Saat itu, saya kadang berharap mata saya menjadi minus agar saya punya alasan berkacamata. Pikiran yang saya anggap bodoh sekarang. Saatnya memang tiba. Saat duduk di kelas 3 SMU, mata saya minus. Lihat obyek yang jauh tampak buram. Kesulitan menyimak penjelasan guru sekolah, saya pun memakai kacamata. Tampak ganteng? Hm... Mungkin. Yang jelas, saya bisa membaca tulisan di papan tulis dari barisan belakang kelas.
Waktu pun berlalu hingga saya kuliah. Kuliah di bidang pemanfaatan sumberdaya perikanan yang banyak praktek lapang, termasuk berlayar. Kesulitan mulai terasa karena kacamata menghambat kegiatan luar ruang. Berlayar diterjang ombak dan hujan membuat kacamata saya basah kuyup. Melepasnya saat kondisi seperti itu juga tidak baik. Berada di sebuah kapal kecil di tengah laut gelap gulita yang sedang bergelombang bisa jadi sama dengan bunuh diri.
Bahkan kesulitan itu terasa di kegiatan dalam ruang. Seperti saat harus menggunakan mikroskop saat praktikum. Apa daya, semua harus dijalani.
Saya hanya ingin mata kembali sehat. Sehingga tidak ada lagi beban dan hambatan untuk beraktivitas. Lagipula kacamata terbukti tidak signifikan mengatrol nilai wajah saya. Saya ingin sembuh. Tapi saya nggak mau operasi. Selain karena nggak punya cukup uang untuk itu, minus mata saya tergolong kecil untuk dioperasi. Saya mencari obat tradisional yang bisa mengobati mata minus. Istri saya pernah pulih mata minusnya karena obat tradisional yang diberikan tetangganya saat tinggal di Samarinda. Sayangnya, istri saya nggak tahu resepnya.
Berat betul hidup berkacamata. Saran saya, jangan pernah bermimpi untuk berkacamata. Apalagi hanya sekadar untuk terlihat ganteng. Nggak penting! Satu yang paling penting adalah mata sehat waalfiat. Bisa menikmati alam ciptaanNya tanpa tergantung seuntai logam yang membingkai sepasang lensa. Satu-satunya lensa yang membuat saya bersyukur bahwa dia ada adalah lensa kamera.

20080617

Anakku...

Puji Tuhan! Setelah menunggu sekian lama, anak kami lahir pada 28 Mei 2008 di Yogya. Darrell Nathan Raditama. Darrell berarti berkat dari Sorga. Nathan berarti hikmat dari Tuhan. Raditama berarti anak pertama. Setidaknya itulah makna sepengetahuan kami.


Prosesnya cukup panjang. Sejak 27 Mei 2008, istri saya sudah mengalami pecah ketuban. Malamnya, dia merasakan sakit yang timbul tenggelam. Makin lama, rasa sakit itu semakin sering. 28 Mei 2008 pukul 1 dini hari, istri saya ke rumah sakit. Hari rabu itu kami lalui dengan sangat lama. Rasa sakit mendera berkali-kali. Kasihan bila melihatnya berjuang.

Subuh berangsur pagi, pagi berangsur siang, siang berangsur petang. Namun tanda-tanda kelahiran belum juga mengalami kemajuan. Akhirnya, pada pukul 16.50, istri saya sudah mencapai bukaan akhir dan dibawa ke ruang bersalin. Dengan persiapan sebentar bersama dokter, bidan dan suster, istri saya mulai berjuang mengeluarkan sang bayi.

Detik demi detik. Menit demi menit. Istri saya mengejan dan mengejan. Sebagian kepala bayi sudah sempat keluar. Namun masuk lagi karena dorongan yang kurang kuat. Hal ini terjadi hingga empat atau lima kali. Setelah usaha berkali-kali tidak berhasil, dokter menyarankan agar bayi kami dibantu dengan alat vakum. Namun istri dan saya tidak setuju.

Akhirnya, demi melahirkan secara normal, istri saya sebentar beristirahat. Saya pun mendukungnya agar sebentar bernafas. Demi anak, saya minta istri saya mengerahkan segenap tenaganya. Setelah dirasa cukup, istri saya mengejan. Dokter, bidan dan suster turut memberi semangat. Kepala bayi kami keluar sedikit demi sedikit. Diikuti tubuh lalu kakinya. Seorang bayi laki-laki telah lahir.

Pecahlah tangis bayi di ruang bersalin ini. Kulihat dengan seksama bayi itu ketika digendong suster. Puji Tuhan dalam hati karena organ tubuhnya lengkap. Bayi itu dibersihkan dan dibungkus dengan selimut. Karena tangisannya kurang kuat, bayi kami dibantu alat untuk mengeluarkan cairan yang mungkin masuk ke dalam tubuhnya.


Segalanya terasa berbeda sejak itu. Kami memiliki seorang anak. Anak yang Tuhan titipkan kepada kami. Saya masih sering merasa takjub, sedikit tidak percaya atas apa yang telah terjadi. Tuhan menitipkan seorang anakNya kepada kami.

Terima kasih kepada semua teman yang banyak menolong kami. Depa, Noula, Kak Susi, Mike, Nukie, Pece, Shinta, Seoul dan semua yang nggak sempat saya sebut namanya. Tuhan memberkati...